Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hal yang Saya Pelajari di Umur 30-an

 


Sebagai orang yang bekerja dengan jadwal rutin harian dan mingguan, waktu itu rasanya berlalu cepat banget. Baru mulai hari Senin, eh tiba-tiba udah mau Sabtu lagi aja. Rasanya baru saja berjuang di akhir bulan, eh, baru merasakan enaknya awal bulan, tiba-tiba sudah akhir bulan lagi.
Semuanya berjalan tanpa terasa, begitu juga dengan perubahan dalam diri sendiri.

Saat malam-malam gabut, kadang kepikiran, “Kok 3 tahun lalu saya begini ya, dan sekarang jadi begini?” Tiba-tiba aja tersadar bahwa perubahan dalam diri ini cepat banget.

Dulu perasaan emosian, kok sekarang agak kaleman ya? Dulu overthinking mulu, ya kok sekarang adem? Semakin saya melamunkan pertanyaan-pertanyaan itu, semakin saya sadar bahwa hidup terkadang memberikan pelajaran dengan cara-cara yang lucu. Apa aja?

Satu Jari Menunjuk, 4 Jari Menunjuk Diri Sendiri

Tumbuh ditemani bully membuat saya penuh prasangka.

Waktu itu saya sedang kesal sekali dengan seseorang (sebut saja si A), saya tak suka sekali dengan salah satu tabiatnya. Saya menggunjingkan dirinya bersama teman imajiner di kepala sendiri, sesekali menggunjing dengan teman se-frekuensi. Teman-teman sefrekuensi dan saya sepakat bahwa ia memiliki tabiat buruk yang kita sebut saja tabiat penjilat (bukan tabiat sebenarnya).

Suatu hari, saya dan si A memiliki musuh yang sama, si B, yang super penjilat. Di sela gunjingan kami ke si B, tiba-tiba si A nyeletuk, “Kok ada ya orang yang suka banget menjilat?”
Ucapan itu membuat saya langsung bertanya-tanya. Kok bisa penjilat kesal sama penjilat? Bukannya dia juga penjilat?

Tapi yang lebih membuat saya merenung adalah pertanyaan, “Apakah saya sepertinya? Menuduh orang lain memiliki keburukan tertentu padahal orang lain juga melihat keburukan itu ada pada saya?”
Ia begitu yakin menuduh orang penjilat padahal ia sendiri juga penjilat. Saya juga sering menuduh orang dengan yakin, jangan-jangan tuduhan itu juga ada di diri saya, tapi saya gak ngelihatnya.

Sejak itu, saya selalu mengajari diri sendiri untuk memaki “woi bacot ah!” ketika kepala ini sudah mulai menggunjingi orang lain.

Kamu Gak Akan Pernah Bisa Mengontrol Orang Lain

Idealis, itulah saya 5 tahun yang lalu. Prinsip saya, maki saja jika orang salah. “Orang tolol itu harus diajarin, biar gak makin tolol,” pikir saya waktu itu.

Hasilnya? Dada selalu berdebar, pikiran mumet, dan capek.

Perubahan? Nol.

Di kemudian hari saya belajar, ingin mengubah, ya silakan. Usaha sebisanya, diskusikan sebaik mungkin dengan orang lain. Kalau orang lain gak mau berubah, ya cukup saya yang menyesuaikan. Orang lain gak mau mendengarkan ide kita karena gak mau kita terlihat hebat? Ya udah, stop.
Kita gak akan bisa mengubah orang! Apalagi dengan paksaan. Kita bisa perlahan berubah, mungkin dengan sedikit pertemanan.

Jangan Terlalu Yakin

Dulu, saya yakin banget sama prinsip yang saya pegang, sampai kadang menganggap pendapat saya yang paling benar. Kalau ada yang gak setuju? Langsung aja saya anggap dia yang salah. Tapi suatu hari, ada momen yang bikin saya berubah pandangan.

Waktu itu, saya berhadapan dengan seseorang yang selalu ingin memastikan segalanya sesuai standarnya. Saya sendiri merasa sebal, bertanya-tanya, “Kok dia ngerasa paling benar sih?” Tapi suatu saat, justru orang ini membantu saya di saat saya bikin kesalahan yang awalnya gak saya sadari. Dari situ saya mulai tersadar, mungkin ada kalanya standar yang ketat juga penting. Bisa jadi, di saat saya terlalu yakin sama cara saya sendiri, saya malah menutup diri dari cara lain yang sebenarnya lebih baik.

Terkadang, saat kita terlalu yakin dengan pendapat sendiri, kita malah jadi sulit melihat kemungkinan lain yang lebih baik. Ada kalanya kita perlu melonggarkan keyakinan supaya bisa melihat sesuatu apa adanya, tanpa kacamata “ini pasti benar.”

ikbaldelima
ikbaldelima Acehnese || A Teacher || Guidance Counselor || Newbie Writers || Loves Books And Movies

Post a Comment for "Hal yang Saya Pelajari di Umur 30-an"