Menjadi Netizen Biasa di Usia Tua
Menjadi tua adalah perjalanan yang penuh refleksi, dan salah satu cerminan paling nyata dari perubahan ini adalah cara kita bermedia sosial. Dulu, saya seperti burung bebas, mengepakkan sayap tanpa beban, mengekspresikan diri dengan ceria dan tanpa hambatan. Namun, seiring waktu, semua itu berubah. Saya tak lagi se-alay dulu, dan kini harus menerima kenyataan bahwa banyak teman masa lalu yang telah meninggalkan dunia maya. Kesunyian ini menghadirkan sejenis kesepian yang baru dan aneh.
Ketika membuka akun-akun lama teman-teman, saya seakan berjalan di antara kenangan yang beku. Foto-foto lama dan memori yang tak lagi diperbarui berderet seperti lukisan usang di galeri sepi. Dahulu, setiap kali saya mengunjungi media sosial, selalu ada cerita baru, tawa, dan candaan yang menyemarakkan hari. Kini, semuanya terasa membeku dalam waktu, sepi dan sunyi. Ada rindu yang mendalam untuk masa-masa itu, saat dunia digital terasa begitu hidup dan penuh warna.
Meski ruang sosial semakin terbatas karena saya sudah berkeluarga, media sosial tetap menjadi pelarian, meski ada rasa aneh yang menghantui. Tidak ada lagi keceriaan yang dulu, kebebasan yang dulu. Saat masih muda, media sosial adalah tempat untuk mengepakkan sayap seluas-luasnya, berbagi kegembiraan dan keluhan sehari-hari. Kini, semuanya lebih sunyi dan kaku, seolah kehidupan di dunia maya telah kehilangan semangatnya.
Saya kini jarang memposting. Ada perasaan takut yang menyelinap setiap kali saya ingin berbagi sesuatu. Pernah saya memberanikan diri memposting tentang prestasi yang saya raih, hanya untuk disambut komentar yang menuduh saya sombong. Ketika saya mencoba memposting hal-hal receh, seseorang mencemooh saya tidak ada kerjaan. Saat saya menunjukkan kepedulian, dibilang saya sok dermawan. Setiap kata, setiap gambar yang saya unggah, terasa seperti ranjau yang bisa meledak kapan saja. Serasa berjalan di atas tali tipis, takut tergelincir oleh pandangan negatif orang lain. Pengalaman-pengalaman ini membuat saya merasa serba salah, seolah-olah apa pun yang saya lakukan tidak pernah benar di mata mereka. Respon mereka tergantung suasana hati dan sudut pandang mereka, sesuatu yang tak bisa saya kontrol. Menjadi manusia yang tidak bisa mengekspresikan diri karena ketakutan dikritik adalah sebuah bahaya yang nyata dan mengerikan. Setiap kali saya mengingat hal ini, ada rasa sesak di dada, perasaan terkurung dalam jeruji yang dibuat oleh pandangan orang lain.
Namun, saya menemukan solusi terbaik: menjadi diri sendiri. Tidak perlu terlalu peduli dengan omongan dan komentar orang lain. Yang paling penting adalah kebahagiaan kita sendiri. Bermedia sosial kini lebih sebagai cara untuk tetap terhubung dengan dunia, meskipun dengan cara yang berbeda. Menerima perubahan ini adalah bagian dari proses menjadi tua. Pada akhirnya, yang terpenting adalah kita bisa menikmati hidup dengan cara yang kita pilih, termasuk dalam bermedia sosial.
Menjadi tua berarti merangkul kenyataan bahwa dunia terus berubah, termasuk dunia digital yang dulu begitu akrab. Namun, di balik semua perubahan ini, ada satu hal yang tetap abadi: keinginan untuk terhubung, untuk berbagi cerita, dan untuk merasakan kehadiran orang lain, meskipun hanya melalui layar. Media sosial mungkin tidak lagi seramai dulu, tetapi ia tetap memiliki tempat khusus di hati saya, sebagai jendela kecil yang menghubungkan masa lalu dengan dunia luar. Dalam kesunyian ini, ada keindahan tersendiri—seperti embun pagi yang menetes perlahan, membawa sejuk di hati yang merindukan kehangatan.
Post a Comment for "Menjadi Netizen Biasa di Usia Tua"