Realita: Bermulut tanpa Guna
Angin kencang yang kadang-kadang diiringi hujan di sekitaran kota banda aceh, membuat sebagian dari kita malas untuk kemana-mana. Paling banter di rumah atau kos terus menggalau deh tentang hujan. Sampai-sampai status facebook penuh sama status hujan. Terlepas dari bagaimana pembaca menanggapi cuaca yang tidak menentu ini. Tulisan ini sebenarnya timbul dari aktivitas penulis yang melamun tidak jelas. Hari ini ngamatin atap rumah tetangga asrama. (maksudnya buat apa coba?). ya, namanya juga gk ada kerjaan.
Kebetulan di atas atap yang sedang penulis amati. Ada kucing sedang bejemur. Jadilah penulis melakukan kegiatan yang betul-betul tidak bermanfaat. Mengamati
kucing. Betul-betul gk ada kerjaan. Si kucing yang berwarna abu-ibu itu
awal-awalnya nyantai aja (semacam berjemur di pinggir pantai). Dan
melakukan berbagai aktifitas yang biasa bagi kucing (gk bisa ditulis,
nanti di bilang porno lagi, hehe). Lalu muncul kucing hitam. Kayaknya
sih mau lewat. Nah, namanya kucing. Dimulailah ritual kucing mau berantem. Pertama pandang-pandangan, terus meong-meongan, ujung-ujungnya kejar-kejaran. Dasar kucing, gk kreatif. Lah?
Melihat
ini, penulis berfikir bahwa terkadang manusia hampir sama dengan
kucing. Berulang kali di televisi kita melihat bahwa sungguh pelajar dan
remaja kita meniru perilaku kucing. Terutamanya di kota-kota besar.
Berawal dari tatapan dengan remaja lain yang berbeda sekolah di gang
sempit maupun di jalan besar, terus berlanjut lah tawuran ke rel-rel
kereta api atau bahkan sampai ke jalan raya. Padahal dibandingkan dengan
para kucing, mereka atau bahkan kita punya karunia yang sangat
berharga. Karunia itu bernama komunikasi. Seandainya kucing bisa
ngomong, pasti kasus kucing diatas atap tadi tidak mesti terjadi. Si
kucing yang mau lewat hanya perlu berkata, “permisi bg cing, numpang
lewat bentar ya!!”. Masalah selesai. Gak perlu cakar-cakaran.
Post a Comment for "Realita: Bermulut tanpa Guna"