Bertengkar dan Berpikir Terbuka Setelahnya
Ketika anda bertanya kepada orang
yang baru selesai berkelahi, tentunya yang anda dapatkan adalah pembenaran dari kedua
belah pihak. Jika anda bertanya kepada Si X, dia akan membela dirinya sendiri
dan menyalahkan Si Y dan begitu juga sebaliknya. Jarang ada yang mau
menyalahkan diri sendiri dan membenarkan lawannya ketika berkelahi tadi.
Hal inipun berlaku bagi saya.
Walaupun saya mengetahui kondisi yang paling baik yang mesti saya lakukan
setelah bertengkar, keinginan untuk menang sendiri pun masih ada dalam diri
saya. Hanya saja, untungnya, sehabis bertengkar, mood saya untuk berbicara hilang sehingga malas menanggapi
pertanyaan “siapa benar siapa salah” dari teman-teman. Padahal kalau mau
berbicara, saya yakin, saya akan menanggapi pertanyaan tersebut dengan
menggebu-gebu membenarkan diri dan menyalahkan orang lain.
Hanya saja, ada pengalaman
menarik ketika beberapa hari yang lalu saya kembali tak bisa kontrol emosi.
Seingat saya, pertengkaran tersebut merupakan yang ke dua kalinya semenjak saya
lulus SMA. Saya gak akan bercerita
tentang kenapa saya bertengkar, melainkan bagaimana saya bertengkar.
Saya memiliki kebiasaan
membesarkan suara ketika bertengkar. Kalau diingat-ingat, keinginan untuk
memaki lawan saya selalu timbul ketika dia lebih dulu membentak saya. Yah, pada
dasarnya, saya memang paling anti dibentak. Kalau dibentak, gak ada alasannya untuk tidak membentak
balik. Dan ketika membentak, semua kata binatang keluar dan batasan umur dengan
lawan pun menjadi hilang. Nah, setelah perkelahian beberapa hari yang
lalu itu, saya pun kembali membenarkan tindakan saya. Dalam hati saya selalu
berkata, “kalau gak mau dibentak,
jangan nge-bentak dong!” Dalam hati,
saya tau bahwa membesarkan suara seperti itu sungguh memalukan tapi hal
tersebut menjadi tidak terlalu saya pedulikan karena rasa ego dalam diri.
Dua hari berselang setelah bertengkar dengan membesarkan suara secara membabi buta itu, terjadi
perkelahian dengan cara yang sama dengan perkelahian saya di sekitaran tempat saya tinggal. Ada dua orang yang bertengkar. Satu pihak membesarkan suara seperti saya dan pihak lain yang masih punya cukup urat malu untuk membesarkan suara. Ketika melihat
pertengkaran itu, wadduh, asli malu banget. Saya membayangkan bahwa saya
dalam pertengkaran kemarin sama dengan lelaki yang saya lihat membesarkan suara
itu. Dan parahnya lagi, saya memiliki pandangan negatif tentang prilakunya
sehari-hari. Intinya, saya beranggapan bahwa saya dan dia memiliki sikap yang
berlawanan satu sama lain dan seandainya disuruh memilih, dia adalah orang
terakhir di planet bumi yang akan saya jadikan sebagai sahabat. Tapi saat ditekan orang, respon kami hampir sama. Logika saya pun berbicara, "untuk kasus ini, saya gak lebih baik dari dia"
Sejak saat itu, pondasi kuat
di pikiran saya untuk membentak kembali orang yang membentak menjadi runtuh. saya
berjanji kepada diri sendiri untuk lebih bisa mengontrol diri ketika
bertengkar. Semenjak saat itu, saya tidak akan serta merta membenarkan apa yang
saya lakukan hanya karena saya merasa nyaman ketika melakukannya. Di satu sisi,
membenarkan segala hal yang kita lakukan merupakan hal yang paling menyenangkan
karena perasaan kita tidak akan merasa tersakiti dengan rasa bersalah. Namun,
nyatanya, hal itu hanya akan membuat kita menjadi pribadi yang anti kritik dan
sulit untuk berubah.
Semoga kita selalu berusaha untuk
berpikir terbuka. Amin.
Post a Comment for "Bertengkar dan Berpikir Terbuka Setelahnya"