Apakah saya underachiever?
Hari ini, tanggal 20 januari 2016, akhirnya saya resmi berhasil
melepaskan status mahasiswa yang telah saya pegang beberapa tahun terakhir ini.
Terlepas dari berbagai kesan yang saya alami saat sidang tadi, ada satu
pertanyaan kecil dari salah satu dosen yang seakan kembali menyadarkan saya
tentang satu hal yang beberapa tahun ini sering mengganggu pikiran. Dengan
alasan privasi dan tidak meminta izin, maka saya memutuskan tidak menulis nama
beliau di sini.
“Ikbal kenapa underachiever?”,
kira-kira begitulah pertanyaan salah satu dosen sesaat setelah berakhirnya
sidang. Saat itu saya hanya terdiam dan bertanya balik tentang apa itu underachiever. Maklum, istilah itu baru
pertama kali saya dengar. Dosen tersebut pun memberikan tamsilan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang berbunyi
seperti, “Kamu kan bisa ini itu, tapi kenapa gak bisa ini itu?” atau “kamu kan
berpotensi, tapi kenapa skripsinya lama kelar?” dan beberapa pertanyaan lain
yang serupa. Setelah itu, saya paham maksud dosen saya itu. Bagaimana tidak?
Pertanyaan seperti itu sudah menjadi pertanyaan yang terlalu sering saya dengar
beberapa tahun ini.
Boeh-boeh droe, itulah ungkapan dalam bahasa Aceh
yang sering menyertai pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan dari dosen saya di
atas. Secara bahasa, boeh-boeh droe memiliki
arti buang-buang diri :). Secara istilah, boeh-boeh
droe merupakan ungkapan yang menggambarkan keheranan satu orang atas orang
lain yang tidak menunjukkan sikap atau prestasi yang sesuai dengan bakat atau
potensi lebih yang dimilikinya. Misalnya, ada wanita cantik tapi tetap
menjomblo atau orang pintar tapi tidak berprestasi apa-apa. Setelah saya googling, pengertian boeh-boeh droe di atas hampir sama
dengan ungkapan underachiever yang
dikemukakan Ibu Dosen. Intinya, underachiever
juga membahas tentang prestasi seseorang yang lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat kecerdasannya.
Pertanyaannya, apakah saya underachiever atau boeh-boeh
droe sedari kecil? Untuk menjawabnya, izinkan saya bercerita tentang
bagaimana jalan hidup saya yang memberikan pengaruh terhadap underachiever atau boeh-boeh droe-nya saya di masa kini. Hitung-hitung sebagai curhat. Dalam tulisan ini, saya meminta
maaf jika tulisan ini terkesan memuji diri. Saya hanya berusaha menggambarkan
bagaimana saya memandang diri saya dan tentunya tidak bisa dilepaskan dari
subjektifitas.
Saya adalah anak ke 2 dari 5 bersaudara. Anak ke satu, kedua
dan ketiga memiliki umur yang tidak jauh berbeda, hanya terpaut 2 atau 3 tahun
saja. Sedangkan anak keempat dan kelima terpaut jauh dengan abang-abangnya.
Seingat saya, awal-awal SD, prestasi belajar saya biasa saja.
Namun semenjak naik ke kelas 4 SD, saya mendapat rangking 3 di kelas hingga
tamat SD. Dalam keluarga, hanya saya seorang yang bisa meraih peringkat 3 besar
di kelas. Sedangkan abang dan adik saya hanya sesekali menempati peringkat
sepuluh besar di kelas.
Dalam keluarga, saya adalah anak yang sangat pendiam. Bahkan,
Ummi berkata bahwa saya pernah dalam sehari tidak mengucapkan satu patah
katapun. Saya pikir, mungkin itulah penyebab saya bisa meraih peringkat 3 di
kelas, karena saya terlalu sibuk belajar sebagai anak rumahan. Di kelas,
walaupun saya termasuk anak yang pendiam, bukan berarti saya terisolir. Banyak
teman-teman sekelas yang sering kali meminta bantuan pada saya untuk membuat PR
atau sekadar sebagai tempat menyontek.
Peringkat kelas yang saya dapat ketika SD menumbuhkan
perasaan berharga dan mampu. Merasa dibutuhkan oleh teman sekelas semakin
menumbuhkan rasa percaya diri yang semakin mengikis sifat pemalu dan pendiam
dari diri saya. Ketika lulus SD, saya bukan lagi anak yang sangat pendiam
seperti dulu lagi.
Memasuki masa SMP, saya memasuki lingkungan yang benar-benar
baru. Jika awalnya saya sekolah di SD yang dekat dengan rumah. Ketika masuk
SMP, saya yang anak rumahan ini dipaksa untuk sekolah di tempat yang sangat jauh
untuk anak rumahan. Ketika SMP, saya tetap tinggal di Kota Depok, Jawa Barat
dan bersekolah di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di sekolah ini, selain menemukan
pengalaman baru, usaha saya belajar pun kembali diakui oleh lingkungan sekolah.
Di awal sekolah, saya mendapatkan peringkat 5 di kelas. Lalu meningkat ke
peringkat 4, kemudian naik dan menetap di peringkat 3 hingga akhir masa SMP. Ketika
kelas 2, saya menduduki peringkat 9 dari 150 nilai rapor seluruh siswa kelas 2.
Walaupun Bully tetap saya dapat di SMP ini, kepercayaan diri
saya sungguh meningkat. Guru-guru melakukan penilai objektif dan teman-teman di
kelas memperlakukan saya dengan baik. Ketika masuk kelas 3 SMP, saya sudah bisa
berguyon ketika guru bicara di kelas. Saya sudah berani menyahuti guru bicara
hanya untuk mendengar tawa dari seisi kelas. Pada saat itu, saya haus akan
belajar. Haus akan pengakuan dari teman-teman dan guru. Dan pengakuan tersebutlah
yang manghapuskan cap pendiam dalam diri saya.
Dan kemudian, semua itu mesti dimulai dari awal lagi....
Beberapa minggu setelah pengumuman kelulusan SMP, karena alasan
ekonomi, kami sekeluarga memutuskan untuk pulang kampung dan menetap di sana.
Padahal dengan nilai UN saya yang tinggi waktu itu, saya bisa masuk masuk ke
SMA unggul di Jakarta Selatan. Angan-angan itu pun buyar ketika mesti meninggalkan
kota yang telah kami huni 13 tahun itu.
Ayah dan Ummi bukanlah orang tua yang terlalu paham tentang pentingnya
pendidikan berkualitas bagi anaknya. Bagi orang tua saya, tak peduli sekolah
unggul atau tidak, yang penting sekolah. Maka, ketika sampai di Aceh, saya pun
dimasukkan ke sekolah yang terdekat dengan rumah. Selaku anak yang masih
tergantung dengan orang tua, saya tentu tak protes. Dan bagi anda yang orang
Aceh asli, pasti tau bagaimana kondisi sekolah di Aceh selain yang berstatus
unggul.
Karena tidak bisa berbahasa Aceh, sayapun kembali menjadi
anak yang pendiam. Saat itu, saya hanya paham apa yang dikatakan orang, tapi
belum bisa mengucapkan bahasa Aceh dengan baik. Perbedaan pergaulan pun membuat
saya agak sedikit congkak di sekolah. Sayapun menjadi bahan Bully baik di
lingkungan gampong maupun di sekolah. Banyak orang-orang yang dengan enaknya menuduh
saya sebagai orang sombong karena tidak bisa bahasa Aceh. Dan ketika berusaha
berbicara dalam bahasa Aceh, bully pun tak berhenti. Meu Keulidoe lidah atau tidak terbiasanya lidah dalam mengucapkan bahasa
aceh menyebabkan suara yang keluar berlogat aneh dan menjadi bahan olok-olok. Pondasi
kepercayaan diri yang telah terbangun di masa lalu pun runtuh. Saya yang waktu
itu masih remaja labil menjadi stres dan mudah menangis. Saya seringkali
mengunci diri di rumah hanya untuk menghindari orang yang sering membully. Ketika
masa SMA, saya betul-betul kembali jadi anak rumahan lagi.
Di sekolah, keinginan untuk berprestasi pun menghilang. Tidak
bermaksud merendahkan guru, tapi saya seringkali kali kecewa dalam proses
penilaian guru terhadap siswa-siswanya. Bukan bermaksud sombong, sebagai
contoh, ketika awal masuk sekolah, mata pelajaran matematika di semester 1 yang
diajarkan di kelas 1 SMA telah duluan saya pelajari ketika kelas 2 SMP dulu.
Dan matematika merupakan favorit saya ketika SMP. Tapi apa hasilnya? Nilai matematika
saya termasuk biasa-biasa saja di kelas. Saya kecewa berat, buat apa belajar
sungguh-sungguh kalau tidak dihargai. Di Jakarta, nilai komulatif siswa
diketahui dari kumpulan ulangan atau ujian per Bab, sehingga potensi siswa
benar-benar diketahui. Di SMA saya bersekolah, penilaian hanya dilakukan ketika
tengah dan akhir semester. Hanya itu. Dan maaf (ini sangat mungkin subjektif),
saya seringkali merasa siswa yang cenderung mendapatkan nilai tinggi adalah
siswa yang aktif berbicara sehingga lebih dikenal guru. Bahkan maaf, saya
seringkali berprasangka negatif bahwa siswa-siswa tersebut terkesan seperti “menjilat”.
Saya masih bisa menerima jika mereka yang aktif berbicara mendapatkan nilai tinggi
di pelajaran yang memang sering memancing siswanya untuk berbicara seperti PPKN
atau Bahasa Indonesia, tapi matematika?
Ketika menulis ini, saya mulai paham kenapa saya paling anti dengan
perilaku “menjilat” dan terkesan kurang sreg
berteman dengan orang yang suka cari muka. Dengan kemampuan verbal saya saat
ini, saya bisa dengan mudah cari muka. But
I Will Not Do That! Jika saya dipandang rendah karena tidak bisa mencari
muka, maka biarlah....
Note : Saya paham kok beda mencari muka dengan pentingnya
menunjukkan potensi
Kembali pada topik, mungkin sejak masa SMA saya mulai belajar
menjadi underachiever atau boeh-boeh droe. Bully yang saya dapat
dan akumulasi kekecewaan karena penilaian guru membuat saya patah semangat. Pikiran
bahwa “buat apa belajar rajin-rajin kalau hasilnya cuma segitu” benar-benar
tertanam di alam bawah sadar saya. Bahkan, tanpa belajarpun saya juga selalu
berhasil dapat peringkat kelas dari awal SMA hingga tamat SMA, lalu buat apa
usaha?
Pengalaman-pengalaman mendapatkan peringkat kelas dan
pengakuan dari orang sekitar tentu saja membuat saya sadar akan kemampuan diri.
Tapi, itu semua menjadi tak berguna ketika semangat berusaha sudah rendah. Pengalaman
bertahun-tahun itu pun telah menjadi kebiasaan yang sulit untuk saya rubah.
Lalu bagaimana saya sekarang? Masihkah underachiever?
Saya tahu nilai dan pendapat yang tertanam di kepala saya
salah. Olah karenanya, saya masih berusaha berubah hingga sekarang. Tapi itu
butuh proses bukan? Saya masih berusaha, tapi pengalaman kecewa dan dibully di
masa lalu sering membuat saya traumatik di momen-momen tertentu.
Maka saya sangat berterimakasih kepada buku-buku yang saya
baca sehingga membuat pikiran saya tetap terbuka. Bayangkan saja, tanpa
buku-buku itu, saya pasti tetap mengunci diri di kamar sambil memaki pembully
di luar sana. Tanpa buku-buku itu, saya masih menjadi pendiam congkak yang
terlalu khawatir dengan tatapan mata orang. Tanpa tiap lembarnya, saya masih
menjadi pribadi pemalu yang bahkan tak berani untuk sekedar berkata.
Saya masih berusaha....
Saya masih berusaha....
Maaf kalau tulisan ini 100%
curhat, terimakasih sudah membaca....
walaupun hanya curhatan semata, tetap enak & gurih dilahap mata & dicerna pikiran. Lagee kacang malam nyan... khak!
ReplyDeletebeu sering2 neu mee kacang lom Ma'arif, nak mangat ta tuleh lom.. wkwkwwk
ReplyDeleteMeunyo awai beuh-beuh dro semoga uke bek le beuh-beuh dro.
ReplyDeleteNyan keuh nyan bg wahyu.. Insyaallah ukeu han lee
ReplyDelete