Mengalah
Dunia ini membara bersebab banyak
yang merasa benar. Ingat ada kata “merasa” di situ! Apakah dua pihak yang
berkonflik itu sama-sama benar? Saya tidak bisa menjawab dengan pasti. Saya percaya,
setiap orang punya kemungkinan benar dan salah dalah sebuah tindakan. Butuh hati
yang betul-betul murni dan bersih untuk menghasilkan tindakan yang 100% benar.
Berkonflik itu ibarat dua anak
muda yang dengan egonya melajukan mobil masing-masing dengan kecepatan luar
biasa. Masing-masing mengarahkan kemudi mobil ke titik hantam antara 2 mobil
itu. Di film-film itu, yang tidak membanting setir ke kiri atau kanan merupakan
Juara dan yang melakukannya adalah pecundang. Tapi, betulkah seheroik itu “sang
juara” yang dengan wajah tampannya berteriak kemenangan?
Yang sering tidak ditampilkan
oleh film busuk itu adalah alur cerita yang berbeda. Pertama, pembuat cerita
tak menyorot wajah “si pecundang” yang dengan muka kecewanya merasa malu, namun
di hati terdalam merasa bangga bahwa di detik-detik terakhir melakukan suatu
yang masuk di akal. Atau kedua, bayangkan saja jika “si pecundang” tak
membanting stir sehingga badan kedua anak muda itu tak berbentuk, sama seperti mobil
mereka yang hancur lebur. Akankah film itu masih berkisah tentang seorang
pemuda yang tampan nan heroik? Atau tentang dua anak muda kaya bodoh yang
mengakhiri hidup dengan cara konyol?
Dalam hidup, kita sering tak
menghargai orang yang bersedia mengalah. Di dunia yang lebih mencintai sensasi,
orang-orang banyak yang lebih menghargai “si Juara”. Karena gairah lebih terasa
pada dada “si juara” dengan adrenalin yang masih membuncah, dibandingkan dengan
ucapan selamat bagi yang mengalah dari kebodohan yang menghancurkan. Emosi menggebu-gebu
lebih terlihat mentereng dibandingkan kebijaksanaan yang terletak jauh di dasar
hati.
Pengalah tentu lain dengan si
pemaksa. Pemaksa itu ibarat wajah sendu anak-anak yang merengek kelaparan. Terlihat
mengharu biru, terlihat sentimentil, padahal hanya digerakkan oleh hasrat untuk
mengisi isi perut. Hasrat yang juga dimiliki binatang. Hanya saja, wajah penuh emosi
itu tak terletak di wajah murni dan lugu anak-anak, melainkan di wajah tengik
orang dewasa. Padahal perjuangan, lebih jauh menggelora di dada pengalah. Ia tenang
di permukaan, tapi menggelora bagai isu perut bumi. Ia menahan api membara,
untuk kedamaian bagi dirinya dan orang di sekitarnya.
Ia tak dipandang, tapi ia yang
menciptakan perdamaian.
Post a Comment for "Mengalah"