Hidup Tidak Sehitam Putih Itu
Ketika berbuat baik, termasukkah
kita ke dalam golongan yang terlalu memuji diri? Akankah kita dengan
marahnya mencap orang lain yang tidak berbuat baik itu sebagai orang yang jahat dan
tidak tahu malu?
Atau ketika orang lain berbuat tak
baik, akankah kita dengan emosi membara memvonis yang bersangkutan sebagai “setan”
yang melakukan kesalahan untuk tujuan kebahagiaan? Lalu memposisikan diri
sebagai malaikat karena tidak melakukan kesalahan seperti yang orang lain
lakukan?
Kita sering kali menilai sesuatu
dengan totalitas 100%. Hanya ada dua sisi, baik dan buruk ; malaikat setan ; hitam
putih. Tak ada yang ditengah-tengah. Tak ada abu-abu.
Sehitam putih itukah hidup ini?
Dulu, ketika masih lugu-lugunya,
saya termasuk orang dalam golongan ini. Saya sering kali memasukkan berbagai bias/pandangan subjektif diri
saat menilai orang lain. Jika saya melihat orang cantik yang sombong,
serta merta saya menilainya sebagai “orang yang sombong akan kecantikannya”.
Jika ada orang kaya yang memiliki perilaku buruk, saya akan melihatnya sebagai “sifat dasar orang kaya yang maunya seenaknya”.
Pergaulan yang terbatas membuat
kita memiliki penilaian dari pergaulan yang terbatas pula. Orang kaya yang hanya
bergaul dengan orang kaya memiliki pandangan negatif terhadap orang miskin dan
begitu juga sebaliknya. Kita cenderung memiliki steorotipe atas sesuatu yang beda dari kita.
Namun lambat laun, ketika pergaulan yang sempit ini agak melebarkan sayapnya, apa yang saya pikir juga sedikit berkembang. Bahwa semua orang di dua sisi koin memiliki masalah yang berbeda dan bisa juga sama. Orang kaya memiliki masalah tersendiri dan atau mungkin sama dengan orang miskin. Orang cantik juga memiliki masalah yang bisa saja sama dan atau berbeda dengan orang yang jelek fisiknya.
Namun lambat laun, ketika pergaulan yang sempit ini agak melebarkan sayapnya, apa yang saya pikir juga sedikit berkembang. Bahwa semua orang di dua sisi koin memiliki masalah yang berbeda dan bisa juga sama. Orang kaya memiliki masalah tersendiri dan atau mungkin sama dengan orang miskin. Orang cantik juga memiliki masalah yang bisa saja sama dan atau berbeda dengan orang yang jelek fisiknya.
Orang
kaya nan cantik memiliki
masalah bersebab harapan tinggi dari orang sekitar, berbeda dengan orang
jelek
nan miskin yang umumnya tak memiliki dorongan apa-apa dari orang
terdekat. Namun meskipun perbedaan latar belakang juga menghasilkan
perbedaan karakteristik masalah, keduanya juga berkemungkinan memiliki
masalah yang sama, seperti orang tua yang
otoriter, teman yang suka membully, perasaan rendah diri dan ribuan
alasan
lainnya. Hanya saja, kita telah memiliki asumsi tersendiri bahwa siapa
yang
memiliki banyak kecukupan dan kelebihan memang sudah seharusnya
berprilaku baik,
dan siapa yang kurang dan susah memang perlu dimaklumi bahwa jahatnya
adalah
sebab dari kesusahannya. Sebuah ide tak masuk akal yang tertanam sejak
dulu
kala di batok kepala kita.
Kita memiliki harapan tertentu pada seseorang berdasar penilaian yang bisa saja penuh bias dan subjektifitas. Tua harusnya bijaksana, kaya harusnya dermawan, cantik harusnya ramah dan segala macam harapan egois lainnya. Jika seseorang memiliki tampilan luar "putih", maka ia harus berprilaku "putih" pula. Jika Ia yang "putih" itu menampilkan perilaku "hitam", maka tak perlu banyak berpikir, makian "tak tau bersyukur" atau "sombong/belagu" kita arahkan kepadanya. Padahal, kita tak tau apa-apa tentang apa yang telah dilaluinya sehingga berprilaku buruk. Kita tak ada bersamanya di masa suram dalam hidupnya, lalu dengan mudahnya menuduh perilaku buruk yang ada padanya merupakan bawaan lahir? Kita tak disampingnya kala deritanya, tapi dengan mudah menuding buruk perangainya karena ia suka melihat orang menderita? Yang egois siapa?
Kita memiliki harapan tertentu pada seseorang berdasar penilaian yang bisa saja penuh bias dan subjektifitas. Tua harusnya bijaksana, kaya harusnya dermawan, cantik harusnya ramah dan segala macam harapan egois lainnya. Jika seseorang memiliki tampilan luar "putih", maka ia harus berprilaku "putih" pula. Jika Ia yang "putih" itu menampilkan perilaku "hitam", maka tak perlu banyak berpikir, makian "tak tau bersyukur" atau "sombong/belagu" kita arahkan kepadanya. Padahal, kita tak tau apa-apa tentang apa yang telah dilaluinya sehingga berprilaku buruk. Kita tak ada bersamanya di masa suram dalam hidupnya, lalu dengan mudahnya menuduh perilaku buruk yang ada padanya merupakan bawaan lahir? Kita tak disampingnya kala deritanya, tapi dengan mudah menuding buruk perangainya karena ia suka melihat orang menderita? Yang egois siapa?
Namun anehnya, konsep hitam putih
itu sering tak berlaku pada diri kita sendiri. Ketika berbuat benar, kita
memvonis orang yang berbuat salah degan segala macam level negatif. Namun jika diri
kita sendiri yang salah, kita akan memasukkan unsur drama sehingga lepas dari
perasaan bersalah. Kita mulai berkonspirasi, bahwa “salahnya aku bukan karena
aku mau salah, tapi lingkungan sekitar yang tak mau peduli padaku. Karena orang-orang
itu yang jahat dan tak adil padaku”. Bagi kebanyakan dari kita, tak ada sisi
hitam atau abu-abu, hanya ada putih.
****
Sebuah tulisan sebagai pengingat bagi diri sendiri
Post a Comment for "Hidup Tidak Sehitam Putih Itu"