“Kapan Nikah” Dan Ragam Pertanyaan Kurang Peka
Pertama-tama, saya ingin mohon maaf jika
judul ini terlalu provokatif dan berkemungkinan besar menyinggung orang-orang
tertentu. Judul ini dibuat bukan tanpa alasan. Karena sepemahaman saya, semakin
sebuah judul provokatif, semakin tulisan itu dibaca banyak orang,. Dan saya
ingin tulisan ini dibaca oleh banyak orang-orang yang menganggap pertanyaan
kapan nikah sebagai hal yang normal.
Kemarin, ada teman satu angkatan kuliah
yang mengirim undangan nikah di grup Whatssapp alumni. Ucapan selamat dari
anggota grup tentu banyak. Lalu muncul seorang kakak leting yang membalas
ucapan selamat dari seorang kakak leting lainnya dengan kalimat, “Kau kapan
nikah? Udah dilewatin adek lating lagi....”. Ya Allah, kok masih ada ya orang
yang kayak gini. Rasanya pengen komen bahasa binatang di grup itu.
“Kapan wisuda”, “kapan nikah” ,”kapan
punya anak?” dan pertanyaan kapan-kapan lainnya masih dianggap lazim oleh
kebanyakan kita. Jika kita bertemu kawan lama di reuni sekolah yang datang
seorang diri, pertanyaan kok masih sendiri rasanya jamak terdengar. Jika
bertahun-tahun pasangan suami istri telah menikah tapi belum punya anak,
gampang betul orang-orang mengucapkan, “kok belum ada anak sih?” Jika ada teman
yang tak tamat-tamat kuliah, banyak orang yang tanpa beban mengucapkan, “kok
lama sih wisudanya?” Pertanyaan itu dianggap lumrah, padahal sungguh,
pertanyaan itu muncul dari mulut tak berotak dari pemilik kepala yang gak bisa
melihat dari sudut pandang orang lain.
Sekarang saya tanya. Emang ada gitu
pasangan yang nikah bertahun-tahun tapi gak kepingin punya anak? Tidak ada!
Jika ada, itu memang komitmen pasangan itu untuk gak punya anak. Emang ada
orang sudah berumur di atas 30 tahun tapi tidak ingin menikah? Ada, tapi
kebanyakan dari kita selalu berharap pada tuhan akan kehadiran sosok yang
menemani hingga tua. Memang ada seseorang yang sudah memutuskan untuk kuliah
tapi tidak berharap untuk diwisuda? Gak ada! Jika menikah, wisuda, punya anak,
memiliki rumah, pekerjaan dan sebagainya merupakan hal yang umumnya diinginkan
oleh semua orang, maka tak perlu dipertanyakan kenapa hal itu belum ia miliki
dan capai. Karena hal itu otomatis sudah menjadi beban pikirannya.
Kita tak mengetahui apa yang sudah dialami
orang-orang itu sehingga belum memiliki dan mencapai hal-hal yang kita
pertanyakan. Kita tak ada ketika ia resah memikirkan umur yang beranjak tua
namun belum menikah tapi perlu melihat teman seumurannya sudah meminang satu
atau dua anak sekaligus. Kita tak ada saat mahasiswa tua itu merasakan malu
ketika yang ditemuinya di kampus hanya adik angkatannya sedangkan kawan
seangkatannya sudah melanjutkan hidup masing-masing. Kita tak ada saat tangis
pasangan yang telah lama menikah itu pecah memohon pada yang kuasa untuk
dianugrahkan keturunan. Kita tak ada dimasa-masa itu, dan taik!, sekalinya
bertemu mempertanyakan kenapa mereka belum meraih hal yang mati-matian ia
perjuangkan.
Belajarlah berbasa-basi tanpa
mempertanyakan pencapaian hidup seseorang. Tak perlu lagi kita tambahkan beban
pikirannya atas hal yang belum ia raih.
Jika kita peduli, tawarkan apa yang belum
ia miliki. Bila belum berjodoh, tawar dan kenalkan seorang baik hati untuk
menjadi pasangannya. Jika ia belum kerja, beri ia pekerjaan atau minimal
informasi lowongan pekerjaan. Jika tak bisa memberikan solusi dan tetap ingin
berbasa-basi, beri pertanyaan remeh temeh lainnya yang tak mempertanyakan
pencapaian hidupnya. Berusahalah lebih peka!
Udah gede kan? Gitu aja kok mesti
diajarain!
Post a Comment for "“Kapan Nikah” Dan Ragam Pertanyaan Kurang Peka"