Kenapa Ada Banyak Orang Jahat?
Terkadang, makin banyak mengenal
orang, makin sering muncul pertanyaan kenapa begitu melimpahnya orang jahat di
dunia ini. Mereka rasa-rasanya ada di mana-mana. Mungkin ini penyebab munculnya
pertanyaan, “emang masih banyak orang baik di dunia ini?”
Yah, padahal gak seperti itu
juga. Kalau kita mau jujur-jujuran, sebenarnya masih banyak orang baik. Cuma
memang, orang jahat ini agak ngegas sehingga lebih mencolok dibandingkan teman
lain yang santuy dan selow. Ibaratnya gara-gara satu titik nila, rusak susu sebelanga.
Yang jahat sih satu, tapi efeknya kemana-mana.
Kadang saya gak habis pikir sama
orang-orang yang model begini. Bagaimana mungkin mereka masih menilai diri
mereka baik padahal perbuatan yang dilakukannya total jahat?
Dan saya sangat beruntung ketika
masih berstatus mahasiswa banyak membaca buku-buku pengembangan diri. Jadi,
selain memahami diri sendiri, banyak hal yang saya pahami tentang orang-orang
jahat ini
Intinya sih tak ada orang yang
jahat, yang ada hanya orang yang memiliki masa lalu suram. Tak ada orang yang
jahat, yang ada hanya orang yang tak bahagia. Profesi saya sebagai guru BK jadi
sebagai pembuktian dari pernyataan di atas. Selalu anak yang dicap bandel itu
merupakan hasil dari interaksi merusak antara dirinya dengan orang lain di masa
lalu.
Banyak orang yang kalau dilihat
dari perilakunya sangat jahat tapi sebenarnya itu hanyalah caranya agar mengalihkan
/ “melupakan” perasaan negatif yang ada pada dirinya, Selalu ada orang-orang
yang menghalalkan segala cara agar dirinya dipandang hebat justru karena jauh
di dalam hati terdalamnya, ia merasa tak berharga. Banyak orang yang menangis
mendayu-dayu mengutuk kezaliman orang lain, padahal justru letak masalahnya di
dirinya sendiri namun lebih memilih menyalahkan orang lain karena ia muak selalu
disalahkan di masa lalu.
Baca Juga : Kenapa Ada Banyak Orang Sensitif?
Baca Juga : Kenapa Ada Banyak Orang Sensitif?
Di dekat mereka, kita merasakan
segala emosi negatif, dan memang sulit bersimpati sama orang seperti ini. Bagaimana
mungkin kita bersimpati pada orang pemarah, sombong, iri, dengki, dan suka
menyalahkan seperti mereka itu? Ketika berhadapan dengan orang seperti itu,
kemuakan dan kekesalan kita pada mereka tak mungkin membiarkan kita berpikir positif
bahwa dia jahat seperti ini karena masa lalunya sungguhlah memilukan.
Menghadapi mereka dengan mengetahui fakta di atas terkadang membuat
saya dilema. Jika tak saya lawan, mereka semakin meraja lela. Tapi pada suatu
tahap, ketika saya lawan, saya merasa kasihan. Logikanya, ia mendapatkan karma
dari perbuatan jahat yang ia sendiri tak sadari. Dipikirannya, ia tengah
melakukan sesuatu yang baik. Atau mungkin ia tak tau apa-apa, yang ia tau, ia
merasa lebih baik saat melakukannya.
Ini seperti anak yang babak belur
harga dirinya dihajar orang tua di rumah, tapi merasakan gelora bangga ketika berhasil
tampil sebagai pemenang dengan membulli dan memukul temannya. Ia tak sadar,
yang ia tau, rasanya enak ketika merasakan “menang” setelah sebelumnya selalu
disalahkan.
Gak sadar? Gilee lu dro!
Nyatanya memang seperti itu. banyak
dari orang-orang itu tak sadar kalau apa yang dilakukannya jahat. Mengutip twit
seorang psikolog bernama dr Jiemi Ardian di akun twitternya, “manusia itu
mahluk emosional, jarang rasional”. Seorang pelajar tak akan peduli nasehat
“jangan pacaran” ketika ia tak mengerti mengapa dunia mengharapkannya berpisah dari satu-satunya orang yang menyayanginya justru ketika dunia dan seisinya tak mempedulikannya. Menceramahi seorang pemalu tak ada gunanya sebelum ia menerima
bahwa perasaan gagal merupakan hal lumrah bagi setiap manusia. Kita tak akan
pernah berhasil menegur pemarah sebelum si pemarah itu memahami bahwa
sesungguhnya ia bosan terus-terusan kalah dalam hidupnya sehingga marah adalah
jalan pintas baginya untuk menang dari orang lain. Banyak orang yang tau bahwa sesuatu
itu buruk baginya namun selamanya tak akan bisa berubah sebelum ia memahami
perasaannya sendiri.
Nyatanya, meskipun kita memiliki ukuran
otak yang sudah jauh lebih berkembang dibandingkan manusia purba, kita tetap butuh
usaha keras memahami diri sendiri. Ilmu psikologi sendiri pun mengatakan bahwa
alam sadar kita itu ibarat puncak gunung es yang mengambang di laut. Yang lebih
luas dan besar adalah es yang terletak di awah air, yakni alam bawah sadar. Keberadaan
alam bawah sadar dan apa yang di dalamnya sangatlah rumit dan penuh misteri. Seringkali
pengalaman-pengalaman hidup yang sangat menyakitkan ingin kita lupakan dan alam
bawah sadar merupakan lemari terkunci tempat kita menyimpan dan melupakannya.
Masalahnya, kita bisa saja melupakan
pengalaman menyakitkan, tapi tak bisa menghapus begitu saja emosi negatif yang
muncul dari pengalaman menyakitkan itu. Itulah sebabnya kita sering lupa dengan
asal muasal emosi yang muncul dalam diri. Sangat perlu usaha khusus untuk
menginvestigasi dari mana emosi itui berasal.
Di lain sisi, jika kita akhirnya tahu
emosi negatif itu berasal dari mana. Apakah kita mau menerima itu sebagai sebuah
hal yang apa adanya? Apakah seorang pemarah akan mengakui bahwa ia tak bisa
mengontrol amarahnya? Atau dengan emosi yang menggebu-gebu justru berkata bahwa
dia begini bukan karena ia jahat, melainkan karena ia membalas orang jahat yang
menyakitinya? Apakah seorang yang selalu menyalahkan orang lain akan senang
hati menerima fakta bahwa sesungguhnya ia menyalahkan orang lain karena malu dengan atas dirinya sendiri?
Atau ia justru memfokuskan diri atas kesalahan orang karena ia tak
sanggup menerima kenyataan bahwa dirinya tak mampu dan juga salah? Ternyata, melupakan asal muasal emosi itu berasal dan memasukkan asumsi pribadi pada suatu peristiwa (fakta) merupakan cara agar hati kita tak kecewa. Kita memanipulasi perasaan kita sendiri agar kita tak kecewa atas diri sendiri. Kecewa dengan
fakta bahwa selama ini, masalah sebenarnya adalah di diri kita sendiri.
Kita dan orang-orang jahat itu
sebenarnya sama saja. Bedanya mungkin kita tak memiliki pengalaman yang sangat menyakitkan
sehingga tak terlalu membela diri dengan membabi buta. Atau mungkin orang-orang
jahat itu tak memiliki orang-orang baik yang siap selalu berada disisinya saat
ia mengalami masa-masa sulit.
Sungguh, kita dan dia sama saja,
hanya beda levelnya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk
membantu sesama manusia? Apa yang perlu kita lakukan ketika berhadapan dengan “orang
jahat” itu?
Pertama, jika kamu masih bisa
mengontrol emosimu dan mengenyampingkan rasa benci, pahami dia. Dengarkan keluh
kesahnya, baru setelah itu nasehati. Jangat terbalik. Proses ini tentu
sangatlah rumit dan butuh proses panjang. Dan menuntut kerja keras dan kesabaran
yang tinggi, apalagi jika kamu tidak memiliki pemahaman tentang konsep mental
manusia yang cukup. Kedua, jika tak mampu, sarankan ia ke pekerja kesehatan
mental seperti konselor, psikolog atau psikiater. Serahkan pada ahlinya. Dengan
adanya fasilitas BPJS dan puskesmas di mana-mana, mestinya tak terlalu sulit terkoneksi
ke pekerja kesehatan mental. Jika kamu tak mampu, ada langkah terakhir.
Resapi konsep “ia jahat karena ia sebenarnya tak bahagia”
dan benamkan konsep itu di kepala kita. Memahami konsep ini sesungguhnya
langkah pertama dan utama karena dengan memahami ini, sesungguhnya kita membuka
pintu maaf baginya dan menghalangi kita untuk membenci berlebihan. Dengan
memahami ini, setidaknya kita menyisakan ruang kecil di hati kita selain kebencian,
yakni empati. Dengan memahami ini, jika pun ia tetap jahat, ada satu yang bisa
kita kontrol, yakni emosi diri.
Post a Comment for "Kenapa Ada Banyak Orang Jahat?"