Menjadi Sampah
Pada situasi lain,
mungkin aku tak akan memperhatikannya. Bagi sebagian orang ia tak berarti
apa-apa. Hanya menjadi frame sesaat yang tertangkap mata. Bagi orang lain, ia
mungkin seperti botol air mineral yang tergeletak di pinggir jalan, menjadi hal
tak penting yang merusak pemandangan. Atau menjadi seperti kucing dan ayam di
pinggir jalan, di pandang hanya karena rasa penasaran mata akan sesuatu yang
bergerak.
Aku menjadi
teringat tentang kasus bayi-bayi yang dibuang orang tuanya sesaat setelah
dilahirkan. Mungkin saja ia tak seberuntung bayi-bayi lain yang dirawat oleh orang baik yang kaya raya. Bisa saja ia menjadi seperti ini karena tidak dirawat baik
oleh orang tua angkatnya. Ah, terlalu banyak bisa
saja yang terpikirkan jika membahas orang yang putus kawat.
Walaupun ia gila,
aku percaya ia pernah memiliki arti bagi seseorang. Setidaknya ia merupakan
teman atau saudara dari seseorang bukan? Aku bertanya-tanya, bagaimana respon
teman atau sahabatnya ketika melihat kenalan mereka sekarang hampir telanjang
di pinggir jalan. Ah, entahlah, mungkin saja ia gila justru karena tak ada yang
berusaha memperdulikannya. Ku pikir, paling tidak ia pernah memiliki arti bagi
Ibunya, menjadi alasan raungan ibunya sebelum kepala Si putus kawat muncul ke
dunia.
Lagi pula, jika
memiliki arti yang besar bagi orang lain, ia tak mungkin gila. Banyak orang
yang akan memperdulikannya dan membantu menyelesaikan masalah yang bisa membuatnya
gila seperti saat ini. Ia pun akan merasa berharga karena banyak orang membutuhkannya, suatu rasa yang
seringkali tak ada pada orang gila.
Tiba-tiba aku
tersenyum memikirkan hal ini. Ah, di saat ini aku sama dengannya. Jika aku
berharga, buat apa aku menunggu lama di sini? Jika yang aku tunggu menganggapku
berharga, mana mungkin ia membiarkanku menghabiskan waktu memikirkan manusia
yang bagi banyak orang tak lebih dari sampah botol?
sumber gambar: http://www.beritabekasi.co/
Post a Comment for "Menjadi Sampah"