Kita Juga Bisa Salah
Sejak kecil, kita selalu
diajarkan untuk selalu benar. Jika kita menderita, itu bukan karena kesalahan
kita, melainkan kesalahan orang lain yang sengaja membuat kita menderita. Konsep
“jadi korban” seperti ini kita pelajari bertahun-tahun dan menetap di batok
kepala terdalam.
Guru ngaji saya waktu kecil sering
berkata pada santri-santrinya bahwa kami harus hati-hati karena barat dan yahudi
sedang membuat umat islam terpuruk. “Mereka sedang membodoh-bodohi kita”,
tukasnya dengan geram. Dan ide ini saya yakin masih dianut oleh sebagian besar
kita.
Konsep ini membuat kita tak bisa mengubah
nasib. Okelah, saya setuju bahwa kelompok di luar islam akan sangat senang jika
umat islam “terjajah” sehingga kelompok di luar islam itu bisa bebas
menyebarkan ideologinya. Tapi bukankah kita juga sama? Bukankah kita juga
senang jika ide islam menyebar luas dan pandangan selain islam menyusut dan
hilang? Jika ini sebuah pertarungan ide, kenapa kita sibuk memprotes taktik dan
cara orang lain, tanpa mau memprotes taktik dan cara sendiri?
Parahnya, ada kelompok atau orang
islam sendiri yang menyepelekan perkara dunia dengan ucapan semacam, “udaah,
gak usah serius kali, dunia semua ini!”. Ada sebagian dari kita yang berprinsip
tak perlu terlalu susah dan repot dengan perkara dunia, toh nanti tidak dibawa
mati.
F*ck!
Kalau kita sendiri menyepelekan
perkara dunia, maka tak perlu bersedih jika banyak umat islam di penjuru dunia
menjadi korban invasi-invasi negara-negara adidaya. Kita sudah memilih
menyepelekan perkara dunia bukan? Kita tinggal di dunia, lalu membiarkan orang
menguasai dunia. Giliran terjajah baru protes?
Saya tak mengatakan bahwa perkara
akhirat itu tidak penting. Akhirat tentu saja sangat penting, tapi bagaimana
kita bisa membangun kehidupan idaman di akhirat jika tempat memupuk amal di
dunia menjadi tempat yang menyeramkan bagi saudara-saudara kita atau mungkin
bagi kita nantinya?
Di sisi lain, ketika sebagian
dari umat islam melakukan sesuatu yang jelas-jelas merusak, kita juga tak
kunjung mengakui bahwa memang ada yang salah. Alih-alih memperbaiki bersama,
kita justru berkoar, “mereka bukan bagian dari kami”.
Saya jadi teringat kasus
penembakan di New Zealand beberapa waktu lalu yang menewaskan puluhan umat
islam. Kita semua tahu bagaimana respon perdana mentri dan rakyat New Zealand,
dan sikap mereka sukses membuat saya terharu. Mereka berkabung dan
mengungkapkan bela sungkawa. Mereka tidak mengusung ide “teroris itu bukan
bagian dari kami” karena jelas-jelas pelaku adalah warga kulit putih
berkewarganegaraan setempat. Yang mereka usung adalah “tidak ada tempat bagi
sikap rasis dan kekerasan di negara kami”.
Tentu beda di negara kita, jika
ada kasus kekerasan yang dilakukan umat islam kepada umat agama lain, kita
langsung membantah bahwa pelaku bukan bagian dari kita. Akibatnya, kita merasa
tidak perlu berbelasungkawa karena “bukan kami pelakunya”. Sikap ini diperparah
dengan sikap “mereka kan kafir, toh juga masuk neraka”.
Coba bayangkan jika perdana
menteri dan rakyat New Zealand bersikap seperti kita. Bayangkan jika kita sedang
sedih dan marah karena puluhan sauidara kita dibantai secara sadis, lalu membaca
postingan warga New Zealand yang lantang bersuara “pelaku bukan bagian dari
kami” di media sosial tanpa sedikitpun mengucapkan bela sungkawa?
Sikap-sikap tidak ingin mengaku salah ini membuat perbaikan
diri dan kelompok menjadi stagnan. Perubahan hanya akan terjadi jika kita terlebih
dulu mengaku salah. Tanpa adanya perasaan bersalah, kedepannya tetap akan ada
sebagian dari kita yang hobi bunuh diri dengan mengimpikan surga. Tetap akan
ada sebagian dari umat muslim yang tertindas dan di bumi belahan lain juga akan
tetap ada orang-orang yang berteriak “mereka kejam” tanpa ada usaha untuk
mengambil alih dunia dari mereka-mereka yang kita tuduh biadab itu.
Post a Comment for "Kita Juga Bisa Salah"