Ketika Prinsip Hidup Tak Selalu Benar
“Pokoknya gak mau,” ujar saya kepada Ayah sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Waktu itu, saya diajak ke Tanah Abang menjelang lebaran. Terjadi keributan di
rumah saat itu karena semua orang di keluarga akan pergi, dan saya bersikeras
tidak mau ikut. Tentu saja Ummi marah, karena saya tidak mungkin ditinggalkan
sendirian di rumah.
Setelah dibujuk rayu dan beberapa kali dicubit, akhirnya saya terpaksa ikut.
Namun, saya tetap bermuram ria di deretan toko Tanah Abang. Ketika abang dan
adik saya bersemangat membeli baju dengan mode terkini, saya justru malas
bergerak. Saya hanya memilih selusin baju murah, tanpa motif, polos. Waktu itu
saya berpikir, aku tidak mau seperti abang. “Gua gak mau jadi anak yang banyak
gaya kayak abang, gua mau jadi anak santai aja,” pikir saya waktu itu.
Apakah alasan saya menolak ke Tanah Abang itu masuk Akal? Tentu saja tidak.
Bertahun-tahun kemudian, ketika bertambahnya umur juga menambahkan pengalaman, saya baru sadar bahwa keyakinan saya dulu bukan hasil dari pola pikir yang rasional, melainkan lebih ke emosional. Sebagai anak kedua, saya ingin berbeda dengan anak pertama. Kebetulan abang saya adalah anak ganteng yang selalu menjadi pusat perhatian, maka saya secara tak sadar mendorong diri sendiri untuk menjadi berbeda dengan abang saya, yang waktu itu saya cap sebagai “caper”.
Waktu itu saya Iri dan secara tak sadar ingin balas dendam. Iri karena abang saya memang ganteng dan selalu menjadi pusat perhatian. Dan Saya membalas dendam ketidakpedulian kepada saya selaku anak kedua dengan menjadi lebih pendiam. Mungkin alam bawah sadar saya waktu itu berpikir, “Kalian gak peduli sama saya? Oke gak usah peduli! Toh saya kan emang anak pendiam, jadi gak perlu dipedulikan.”. Sugesti itu membuat saya semakin meyakini bahwa pendiam merupakan kepribadian yang baik. Buat apa banyak omong tapi caper? Kira-kira begitu pikiran saya waktu itu.
Belasan tahun kemudian, saya menyesali pikiran anak kecil saya kala itu.
Karena pola pikir yang menahun itu, saya menjadi anak yang kuper dan tidak
mengerti gaya baju yang tepat untuk saya sendiri. Sampai kini, saya masih
meraba-raba gaya berpakaian yang cocok untuk saya. Saya menyesali pikiran yang
tertanam jauh di lubuk hati anak kecil itu bertahun-tahun kemudian.
Tapi kita semua memang begitu, kan? Kita merasa prinsip kita selama ini benar, tapi ternyata itu muncul dari cara kita yang salah dalam memandang situasi dan dunia. Saya dulu berpikir bahwa memperbaiki penampilan itu sebagai sesuatu yang salah karena saya tak suka dengan abang yang mendapat perhatian lebih dari mendandani dirinya. Prinsip itu muncul karena saya bias dan salah dalam menilai suatu peristiwa.
Di usia yang sudah lewat kepala tiga ini, saya belajar untuk
melucuti sebagian prinsip yang selama ini saya pegang. Prinsip yang terkesan
benar, padahal salah seperti prinsip “aku tak mau jadi anak yang peduli cara
berpakaian karena gak mau caper” seperti cerita saya di atas.
Anehnya, justru ketika melepas prinsip-prinsip yang membatasi itu, saya
lebih bisa menikmati hidup. Saya yang sekarang bisa menikmati lagu Dangdut,
Reggae, dan bahkan Koplo, berbeda dengan saya dulu yang menganggap selain musik
berbahasa Barat, semuanya rendahan. Saya yang sekarang bisa tertawa ngakak
menonton film Indonesia dan menangis menonton drama Korea, berbeda dengan saya
dulu yang menganggap bahwa film Hollywood adalah kasta tertinggi di dunia
perfilman dan film lain sampah.
Menanggalkan idealisme yang tak penting itu perlu, dan karenanya, saya lebih
bisa menikmati hidup. Kini, ketika kembali mengenang emosi yang meletup-letup
saat menolak ajakan ke Tanah Abang puluhan tahun yang lalu, saya jadi teringat
sebuah kutipan yang entah siapa pembuatnya, “Hanya karena kamu emosi, bukan
berarti kamu benar.”
Saya yang dulu, ketika bersuara lantang menolak ajakan ke Tanah Abang,
sangat merasa benar. Ternyata itu salah. Dan saya mempelajari kesalahan itu
dengan cara yang tidak mengenakkan; bully, isolasi, kesulitan ketika bertemu
dengan orang baru dan lain-lain.
Menghujamkan kutipan itu ke dalam hati terdalam memberikan kompas yang
sangat berharga bagi hidup saya. Kini, di banyak momen ketika emosi sedang naik, saya
menarik diri ke belakang menjauh dari hiruk-pikuk penyebab emosi, dan bertanya
kepada diri sendiri, “Apakah saya yang salah?”
Dan saya akan memulai renungan panjang dengan jawaban sederhana, “Bisa
jadi!”
Menyalaaa abangkuuhh🔥🔥🔥
ReplyDelete