Ketika Perempuan Membuat Persoalan Simpel Jadi Runyam
Tiga laki-laki dan delapan
perempuan, itulah jumlah kami yang berangkat ke pasar malam sehabis magrib
tadi. Saya berangkat dengan sepeda motor bersama Ummi dan Salwa. Sedangkan dua
sepeda motor lagi ditunggangi Bg Khaidir dan Abang sepupu bersama keluarganya
masing-masing. Walaupun 5 orang perempuan di atas masih kanak-kanak, 3
perempuan dewasa sudah cukup membuat kami para laki-laki mondar-mandir tak karuan
menunggu para istri dan orang tua berbelanja ria. Namun, jalan-jalan kali ini
terasa tak biasa. Karena sepanjang belanja, para ibu-ibu selalu saja memberikan
saran-saran tentang bagaimana pentingnya kami menegur tukang parkir yang tak
baik dalam mengawasi sepeda motor para pengunjung.
Yap, saya kehilang dua HP
sekaligus. Entah apa yang ada di pikiran, yang jelas, saya lupa kalau saya
menaruh dua HP di tempat penyimpanan yang ada di bawah kendali kemudi pada sepeda
motor Vario. Setelah berkeliling pasar malam tak lebih dari 10 menit, saya pun
sadar bahwa HP tertinggal dan bergegas ke untuk menjemput kembali barang yang
tertinggal itu.
Sebenarnya, sesaat setelah telpon
di-Riject oleh si pencuri HP, saya
sudah ikhlas kehilangan keduanya. Walapun ada sesak di dada, saya mencoba
mengikhlaskan karena jarang sekali cerita HP yang dicuri bisa kembali lagi. Namanya juga ibu-ibu, mereka tetap memaksa untuk menegur si tukang parkir.
Apalagi ada kecurigaan kalau tukang parkir sendiri yang mencuri. Yah, saya pikir
apa masalahnya menegur agar tidak terulang lagi kasus yang sama.
Namun, ternyata tak sesimpel yang
diduga.
Awalnya, karena saya malas berurusan,
bang Khaidir (tetangga satu kampung) yang menegur tukang parkir. Sedangkan
abang sepupu dan keluargnya duluan pulang. Walaupun penegurannya berlangsung
dengan sesekali bantahan dari abang tukang parkir, peneguran itu awalnya adem
ayem saja. Tapi masalah timbul ketika seorang perempuan muda dan ibunya timbul
dari warung di sebelah parkiran. Entah apa hubungannya dengan si penjaga
parkir, mereka ngotot kembali menyalahkan kami dengan membesarkan suara.
Kejadian menjadi semakin parah ketika bang Khaidir tak mau disalahkan. Padahal,
saat itu kami sudah mau angkat kaki. Terjadi perdebatan sengit antara bang Khaidir
dan Istrinya dengan perempuan muda dan ibunya tadi. Ummi
berucap ke perempuan muda dan ibunya, “hai, peu lee raya-raya sue, malee teuh
di kaloen lee gop” (Hai, ngapain besar-besar suara, malu didengar orang). Namun
karena emosi, ucapan itu mungkin seperti angin lalu baginya.
Saat itu, kami semua sangat ingin pergi karena malu dengan aktifitas teriak-teriak yang dilakukan perempuan muda dan ibunya itu. Sebelum tancap gas bersama dengan
istri dan anaknya, Bg Khaidir berucap, “ka preh beuh, ku lapor enteuk” (Tunggu
ya, saya lapor polisi nanti, Red). Mungkin maksudnya untuk menggertak saja. Namun,
entah karena keramaian lalu lintas pinggir jalan atau apa, si perempuan muda
mendengarnya sebagai, “ka preh beuh, ku poh keuh enteuk” (Tunggu aja, saya pukul kamu nanti).
Emosi perempuan itu pun meledak.
Ia mengejar bg Khaidir yang sudah tancap gas sambil berucap marah, “hoe kajak?
Aci kapoh lon nyoe keujeut” (Mau kemana? Coba pukul saya kalau berani). Melihat
ini, saya pun panik, karena sambil mengucapkan itu, si perempuan muda mengancungkan
piring untuk dilempar. Dengan resah, saya pun berucap ke penjaga parkir tadi,
“bang, aci lee peuglah siat, malee teuh di eu lee gop” (Bang, pisahin bentar,
malu dilihat orang). Saya menyuruhnya menenangkan si perempuan muda karena saya
pikir perempuan muda itu istri atau adiknya. Tapi jawabannya membuat kesal,
“alah, bah meunan dih” (alah, biarin aja).
Dengan kesal, saya dan ummi
berusaha keluar tempat parkir untuk melihat kondisi bg Khaidir dan keluarganya.
Ummi duluan keluar karena saya tertahan dengan si tukang parkir yang menagih
kertas bukti parkir yang dia berikan tadi. Karena agak sedikit panik, saya
tidak bisa menemukan kertas itu dan sedikit menggertak tukang parkir dengan
bilang, “alah, HP lon gadoh, droen gabuek ngon keurtah sion nyan” (Alah, HP
saya yang hilang, situ sibuk sama kertas).
Setelah keluar, ternyata terjadi
keributan di pinggir jalan. Bang Khaidir tertahan perjalanannya dengan si
perempuan tadi menarik-narik baju depannya sambil berujar, “Aci kapoh!” (Coba
pukul!) secara berulang-ulang. Ummi hanya bisa melerai dengan memegang tangan
si perempuan muda dan menegur bahwa apa yang dilakukannya sungguh bodoh dan
memalukan. Bagaimana tidak? Masak cuma gara-gara salah dengar sampai
teriak-teriak di pinggir jalan.
Istri bg Khaidir yang tengah
menggendong anaknya di belakang motor hanya memegang tangan suaminya agar tidak
memukul si perempuan. Saya merasa tidak enak dengan bg Khaidir karena kena
masalah akibat hilangnya HP saya. Saya pun mencoba menarik tangan si perempuan
muda dan menyuruhnya mengecilkan suara karena sudah banyak orang yang
berkerumun di tempat. Yang paling menggelikan, si Ibu perempuan tadi pun
memperunyam masalah dengan mendukung anaknya. Di tengah upaya saya menarik
pergelangan tangan si wanita dari baju bg Khaidir, saya terpancing emosi. Ini
sungguh memalukan, masalah kecil kok bisa menjadi tontonan memalukan di depan
publik gini. Sambil berlomba cepat antara melepas tarikan erat tangan si
perempuan muda dengan meningkatnya jumlah penonton yang berkerumun, saya pun
berteriak keras, “pakoen bangai that lee jeu keu inong, nyoe masalah bacut ta
peurayeuk?” (Kenapa bengak kali jadi perempuan, masalah kecil kok jadi besar
gini?). Saya tak bermaksud memukul, tapi teriakan dan tarikan tangan keras itu
membuat Ia kaget sehingga melepas pegangannya pada baju pemuda beranak dua itu.
Setelah itu, perhatian kerumuman
beralih ke saya. Bang Khaidir yang mendapatkan kesempatan segera tancap gas
bersama istri dan anaknya. Saya tidak menyalahkannya karena jika saya jadi dia,
otomatis saya akan mengamankan anak dan istri saya dulu.
Lalu, Si ibu perempuan muda itu
memaki saya karena menyangka saya memukul anaknya.
“Bek ka poh aneuk lon, ” (jangan
pukul anak saya) katanya sambil mendorong saya menjauh
“Soe yak poh aneuk droeneuh?”
(siapa pula yang mau pukul anak ibu)
Karena bg Khaidir sudah bisa
jalan, saya berusaha lari dari situasi itu dengan mengambil sepeda motor saya
yang terparkir di samping perempuan muda tadi.
“Nyan aneuk lon,” (itu anak saya)
hardiknya lagi karena ia mengira saya bergerak untuk memukul anaknya.
“Yang peugah koen soe? Lon kuyak
cok honda!” (Yang bilang bukan siapa? Saya mau ambil motor) jawab saya tak
sabar karena hendak pergi dari tatapan banyak orang secepatnya.
Namun, masalah sudah terlanjur
runyam. Seolah membalas dendam, si tukang parkir mendatangi saya. Ia bilang
bahwa saya tidak bisa pergi karena kartu bukti parkir saya hilang. Pernyataannya
itu pun didukung oleh kawan sejawat si tukang parkir. Mereka beralasan bahwa
saya bisa saja mencuri motor ini karena tidak bisa menunjukkan bukti parkir.
Padahal, kalau diingat-ingat lagi, si tukang parkir sudah empat kali berjumpa
saya malam itu di parkiran. Kok masih bisa-bisanya nuduh ini motor curian.
Sialnya mereka meminta bukti STNK, padahal STNK belum keluar dan hanya ada
surat bukti pembelian sepeda motor yang tertinggal di rumah.
Di tengah-tengah interogasi dan
pertanyaan banyak orang tentang ada apa ini dan itu, tiba-tiba datang seorang
bapak berbaju putih yang ikut nimbrung. Entah bagaimana, tiba-tiba si bapak
memaki keras sambil mengacungkan tinju ke wajah saya, “peu kah kapoh aneuk lon?”
(kamu mukul anak saya ya?”). Untung saja tinju itu ditahan sama orang. Gilak!
Ini satu keluarga kok emosian semua ya? Anaknya, emaknya, eh sekarang bapaknya.
Entah gimana, si bapak emosian itu akhirnya hilang.
Tak ada gunanya melawan beberapa
orang dengan diawasi puluhan dan bahkan ratusan orang di pasar malam itu. Saya
pun mengalah dan pergi ke warung untuk isi pula ke HP ummi agar bisa meminta
tolong pada abang sepupu yang sudah duluan pulang agar mengambil bukti surat Motor di
rumah. Ketika berjalan untuk isi pulsa, saya sempat melihat si perempuan muda
tadi hanya terduduk lesu sambil mengamati saya di depan tokonya. Entah menyesal karena mambuat keributan yang tidak perlu atau apa, cuma dia yang tau.
Dasar benar-benar malam yang
sial, ketika sampai di warung dan mengurai uang kertas yang lecek dan bertumpuk-tumpuk,
saya menemukan kertas bukti parkir di tumpukan uang tersebut. Saya bergegas
kembali ke kerumunan yang mengelilingi motor dan ummi saya. Entah bagaimana,
ketika sampai ke kerumunan, di sana sudah ada dua polisi yang sedang
bertanya-tanya ke tukang parkir dan ummi. Ketika menyerahkan bukti parkir
tersebut, salah satu tukang parkir dengan brengseknya bilang bahwa kertas itu
bisa didapat di mana saja. Polisi pun mengiyakan. Iya menanyakan di mana kunci
sepeda motor saya dan membawa sepeda motor itu ke kantor polisi militer yang
tak jauh dari pasar malam.
Ketika akan berangkat ke kantor
polisi, abang sepupu (A’a Iwan) yang tadi duluan pulang ternyata kembali lagi
setelah di telpon lagi oleh bg Khaidir. Saya berboncengan dengan Polisi
sedangkan Ummi dan abang sepupu menyusul di belakang. Wajah sunda dan gaya
berpakaiannya yang seperti polisi ternyata memancing tanya si polisi yang
mengambil motor tadi. Sebelum Abang sepupu sampai ke kantor, bukannya ditanya
tentang keributan di pinggir jalan, Polisi itu malah tanya Abang sepupu saya
dinas di mana? Nih polisi takut kayaknya. Padahal A’a Iwan hanya berwiraswasta,
bukan polisi.
Kedatangan A’a Iwan sedikit
mencairkan suasana. Setelah sedikit menjelaskan kronologi kejadian, Polisi itu paham dan kami diizinkan pulang.
Malam ini sungguh malam yang
tidak kami duga. Kalau dipikir sekarang, sebenarnya kedua pihak salah. Lagian,
siapa sih yang mau dituduh pencuri. Mungkin saja penjaga parkir dan keluarganya
tersinggung dengan teguran kami. Di lain sisi, ya ampun, bisa dilihatkan
bagaimana kehadiran satu perempuan bisa memperunyam masalah?
Omeennnnn, ancooo that go Bang. Ta lake doa manteng, beu jioh2 ngen Ineng lage nyan.Na meu 10 Ineng lage nyan di Pidie jadeh anco negara API.
ReplyDeletenyan keuh, jaddeh diobok-obok negara air.. hahaha :D
Delete