Ketika Artis Tak Laku Di Aceh
Dikelilingi Fans, Sumber gambar : Zimbio,com |
Awal mulanya, semua optimis bukan
main ketika bekerja sama dengan EO (Event Organizer) untuk mengadakan seminar
yang mengundang penulis nasional seminggu yang lalu. Siapa sih yang tidak kenal
dengan penulis ini? Banyak karyanya yang telah difilmkan dan menjadi santapan
para ibu-ibu di sinetron malam. Maka, menjadi sebuah kebodohan jika kami meragukan
kemampuan sang penulis untuk menarik minat banyak orang untuk menghadiri seminar
kepenulisannya. Namun, asa itu pun putus hanya seminggu semenjak pendaftaran
dibuka. Promosi yang jor-joran di media sosial dan ruang publik hanya mampu
menarik minat tak lebih dari 20 orang. Jumlah itu pun masih mendingan jika
dibandingkan dengan organisasi kampus yang hanya mampu meraup kurang dari 10
orang padahal memiliki masa yang besar di kampusnya.
Contoh kasus di atas seakan
menjadi sebuah pembenaran bahwa orang Aceh “tak gila” ketika berhadapan dengan
orang-orang terkenal. Pernah satu kasus teman saya duduk bersebelahan meja
dengan Nicholas Saputra di salah satu cafee terkenal di kota Banda Aceh. Segala
aktifitas cafee itu berjalan tanpa adanya tanda-tanda kedatangan seorang artis.
Semua sibuk dengan aktifitas masing-masing. Bahkan, ketika teman saya yakin
bahwa di sebelahnya Nicholas Saputra, Ia hanya memberitahu teman sebelahnya dan
kembali melanjutkan obrolan seperti biasa. Tak ada yang spesial.
Atau di lain kasus, ketika salah
satu artis Ibukota membuka cabang toko Ice Creamnya di kota Banda Aceh. Tak ada
yang penasaran untuk memberhentikan kendaraan padahal acara tersebut tepat
diselenggarakan di pinggir jalan lengkap dengan foto sang artis bertebaran.
Semua berjalan normal tanpa ada kehebohan.
Sangat tidak pedulinya kebanyakan
orang Aceh terhadap Artis ibukota mungkin saja membuat sang artis
terheran-heran atau bahkan membuat orang di sekitarnya menjadi tidak enakan. Hal
ini pernah dialami oleh salah satu vokalis band terkenal yang menghibur para
blogger dalam suatu event. Tak ada satupun dari orang yang melek teknologi ini
keranjingan untuk minta tanda tangan atau foto bareng dengan sang vokalis yang
satu meja makan. Bahkan, salah satu teman saya terpaksa pura-pura minta foto
bareng cuma gara-gara tidak enak dengan si artis karena tidak ada yang minta
foto atau tanda tangan.
Kurang “peka”nya sebagian orang
Aceh mungkin disebabkan oleh minimnya akses informasi di Provinsi ini. Semua
tahu bahwa hanya warga kota Banda Aceh dan sekitarnya yang mampu menikmati
televisi hanya dengan bermodal TV dan Antena seadanya. Di luar itu, banyak
warga yang mesti memasang Parabola untuk menikmati berbagai Channel Televisi
Tanah Air. Tapi sepertinya asumsi itu tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Karena
pada kasus lain, tokoh nasional yang terkenal bagi rakyat Aceh pun juga tak
disambut dengan begitu antusias.
Pernah suatu malam saya dan beberapa
anak Asrama dapat kabat bahwa Presiden RI, Jokowi makan Mie Aceh di Peunayong.
Padahal jarak Peunayong dan Asrama tempat kami tinggal tak labih dari 1 Km. Tapi tak satupun penghuni asrama yang tergerak untuk melihat presiden RI
itu secara langsung. Padahal, berbeda dengan para Artis yang mesti dikenal dulu
dengan melihat penampilannya di layar kaca, Jokowi otomatis dikenal seantero
Aceh akibat perdebatan panas di warkop-warkop dan di pematang sawah menjelang
pemilu presiden.
Tak ada sebab yang pasti mengapa,
tapi ada satu alasan logis yang pernah dikemukakan salah satu teman di obrolan siang.
“Aceh ini dari dulu memang terkenal tertinggal dibandingkan daerah lain. Meskipun
begitu, justru Aceh merupakan Provinsi yang terkenal,” terang lelaki asal Sigli
itu.
“Ketika Tsunami dulu, Aceh
terkenal luar biasa. Dan akibatnya, banyak orang terkenal datang ke Aceh.
Makanya pas ada tokoh terkenal di Indonesia datang, semua biasa aja,”
lanjutnya. Kalau dipikir-pikir, penjelasan itu ada benarnya juga. Pasca Tsunami
dulu, Aceh dikunjungi oleh tokoh-tokoh super terkenal seperti Coffee Annan dan
Bill Clinton dari tokoh politik, Cristiano Ronaldo perwakilan Atlet Olahraga, Jackie Chan Perwakilan dunia Intertaiment dan banyak orang terkenal lainnya.
Alasan lain bisa saja disebabkan
karena budaya Aceh yang berbeda dengan daerah lain. Hidup di bawah naungan
Islam yang kental ratusan tahun membuat Rakyat Aceh tak terlalu gandrung dengan
dunia gemerlap para artis. Ada satu kisah menarik tentang ini. Pernah suatu
kali teman saya memposting foto tentang sebuah konser yang baru saja
dihadirinya di media sosial, tentu dengan caption yang menarik. Tahu apa
tanggapan teman atau pengguna facebook lainnya? Bukannya memuji atau merasa iri
karena dia bisa menghadiri konser artis terkenal, banyak pengguna facebook justru
menulis komentar semacam, “Konser kok di tonton? Ngaji udah belum?” ; “Jangan
bangga berbuat maksiat” dan beragam komentar sinis lainnya. Beragam komentar negatif terhadap perilaku yang dianggap jauh dari nilai agama itu sendiri setidaknya memberikan proteksi terhadap rakyat Aceh itu sendiri. Selain itu, ciri khas rakyat Aceh yang memiliki kedekatan budaya berbasis agama dalam kesehariannya menjadi semacam tameng dalam menolak perilaku budaya kebarat-baratan.
Satu sisi, hal yang seperti ini
bagus, setidaknya kita tak terlalu disibukkan dengan hal yang tak penting. Akan
tetapi, bagi artis yang bersangkutan, sayang ya? :)
Post a Comment for "Ketika Artis Tak Laku Di Aceh"