Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sesulit Itukah Membaca?

Sumber Gambar : Dokpri

“Jangankan baca novel yang tebalnya ratusan atau ribuan halaman, baca buku dua halaman aja udah pusing!” begitu kira-kira alasan yang sering terdengar dari orang yang jarang membaca buku. Bagi pembaca yang memang sering membaca, mungkin akan bertanya, “Apakah benar ada orang yang untuk baca dua halaman saja pusing?”

Nyatanya, bukan sekali dua kali pernyataan seperti di atas terucap oleh banyak orang. Betulkah membaca bisa semenyulitkan itu? Bahkan untuk bacaan yang tergolong hiburan seperti novel? Rasa ingin tahu melahirkan tanya, dan setelah bertanya lebih dari 10 orang yang mengaku sulit membaca setidaknya membuat saya yakin bahwa membaca itu sulit memang karena tak dibiasakan.

Masa-masa SD dulu, aktifitas membaca dilakukan dengan cara yang sederhana dengan mengeja Ini Ibu Budi beserta keluarganya, sebagian besar kita seperti itu. Setelah mulai lancar membaca, bacaan yang disodorkan semakin rumit. Kita diwajibkan membaca kisah Ayah yang menanam bawang di pagi minggu dengan seluruh anggota keluarganya. Tulisannya lebih rapat dan lebih banyak dibandingkan kisah Ini Ibu Budi beserta keluarganya. Ketika kemampuan membaca sudah membaik, kisah yang disodorkan pendidikan tingkat dasar semakin sulit, kita diwajibkan membaca kisah-kisah nabi yang lebih rapat dalam pengetikan dan lebih panjang dalam pengisahan. Sayangnya setelah itu, aktivitas membaca bagi sebagian besar orang seperti berjalan di tempat. Tak berkembang setelah tamat SD.

Selain buku paket sekolah yang hanya dibaca sebelum ujian, tak ada lagi yang dibaca. Jika pun ada, Itupun hanya membaca beragam tulisan di buku sejarah atau bacaan-bacaan pendek di buku pelajaran Bahasa Indonesia seperti cerpen, berita dan lain-lain. Membaca pun mesti di suruh guru dulu.

Padahal, banyak hal dalam hidup ini yang dicapai dengan sistem naik anak tangga. Sebelum mencapai tangga teratas, kita perlu menaiki tangga ke satu atau ke dua dulu. Sebelum anak bisa berlari, ia perlu berguling-guling, merangkak, belajar berdiri, berjalan dan baru berlari. Dan itulah yang saya lakukan sebelum bisa membaca buku-buku tebal di kemudian hari.

Saya jadi ingat sendiri bagaimana peran Ayah dalam menumbuhkan minat baca bagi diri ini. Dulu di sela-sela membaca kisah para nabi, Ayah sering membawa pulang majalah-majalah bekas seperti majalah Bobo dan lain-lain. Ayah waktu itu memiliki toko yang menjual beragam pembungkus barang seperti plastik, koran-koran dan majalah-majalah bekas. Nah, majalah-majalah bekas itu seringkali dibawa pulang ke rumah sebelum di bawa ke toko. Saya sering membongkar-bongkar tumpukan majalah itu untuk melihat ragam majalah yang bisa dibaca. Sebagai anak kota, saya sungguh tergila-gila dengan cerita Pak Tani dengan segala ternak dan kehidupan pedesaannya.

Tahun masa anak-anak bertambah, namun hasrat membaca selalu meminta dipuaskan. Setiap masuk tahun ajaran baru, buku paket Bahasa Indonesia selalu menjadi sasaran hajar lebih dulu. Dalam waktu beberapa hari, segala macam cerpen dalam buku itu saya lumat sampai habis. Buku Paket Bahasa Indonesia milik abang yang dua kelas lebih tinggi juga saya lahap segala bentuk ceritanya. Di lingkungan sekitar rumah, geliat membaca teman-teman sebaya seakan mendesak kehendak untuk terus membaca. Segala ragam komik seperti Doraemon, Sinchan, Conan, dan Dragon Ball selalu berpindah-pindah dari rumah ke rumah. Bahkan Majalah Hidayah dengan segala bentuk azab kuburnya juga menarik minat kami, remaja tanggung. Kadang-kadang, saya malu juga minjam terus. Saya yakin sekali kalau meminta uang untuk membeli “komik tak berguna” semacam Doraemon ke Ayah tak akan diberi. Maka, pernah sekali saya menjadikan Majalah Hidayah sebagai alasan meminta uang. Waktu itu saya pikir, “Ah, ini kan majalah Islami, membuat pembacanya lebih paham agama. Pasti Ayah mau kasih uang!” Tapi ternyata, jawaban Ayah jauh dari harapan, “Ngapain beli buku beginian? Baca Al-qurannya sana! Biar Bacaannya makin lancar”.

Walaupun tidak mendukung pembelian buku, aktivitas membaca di rumah terus saja menggeliat. Sepulang dari Toko di pasar pada sore hari, Ayah juga punya kebiasaan memulangkan koran. Media Indonesia dan Republika menjadi pengisi waktu sebelum berangkat mengaji di sore hari.

Saat memasuki masa SMA dan pulang ke Aceh, minat membaca semakin tinggi. Saya mulai tertarik meminjam novel-novel terbitan Balai Bahasa setebal tak lebih dari 200 halaman. Dalam hati saya berkata, “Ah, cuma 200 halaman kok, panjang bukunya pun gak lebih dari 10 CM, pasti bisa dihabisin!” Dan Kebiasaan “mencuri” novel tipis pun dimulai. Akibat tak memiliki kartu pustaka, detak jantung seakan ditabuh setiap kali saya menyelipkan satu novel di balik baju sekolah dan menukarnya dengan novel selanjutnya.

Selama beberapa saat, hanya novel dengan panjang rendah dan ketebalan tipis yang berani saya baca. Sampai suatu ketika, Ayah membawa pulang buku Pasti Bisa karangan Dino Patti Jalal setebal 473 halaman. Saya langsung ragu bisa melahapnya. Setelah dilihat, buku itu terdiri dari banyak judul yang terpisah satu dengan lainnya. Saya pun membaca sesuka hati tergantung judul yang menarik hati. Lalu, betapa kagumnya saya terhadap diri sendiri setelah semua judul dari buku itu terbaca. “473! Kereen,” begitulah suara hati yang berbangga diri itu. Nyatanya, rasa bangga itu yang membuat saya berani menikmati novel-novel super tebal di kemudian hari.

Pengalaman di atas memberitahu kita bahwa seperti itulah kebiasaan membaca dipupuk, mesti bertahap. Anak bisa berlari bersebab ia telah lebih dahulu belajar berjalan. Rumus matematika yang lebih sulit itu bisa kita atasi setidaknya setelah kita paham cara berhitung. Buku tebal itu terasa lezat seusai kita membiasakan diri menikmati aksara dari buku yang lebih tipis.

Pertanyaannya selanjutnya, bagaimana kita bisa menikmati aktivitas membaca? Bukankah itu satu faktor yang menyebabkan membaca tak membosankan? Jawabannya adalah memiliki rasa ingin tahu yang besar. Orang yang memiliki rasa ingin tahu yang besar selalu penasaran. Rasa ingin tahu yang besar membuat kita tak merasa berbangga diri akan ilmu yang telah ada.

Rasa ingin tahu tak mesti didahulu oleh suatu pertanyaan. Orang yang memiliki rasa ingin tahu besar sering haus ilmu. Selalu ada ruang kosong yang mesti selalu di isi, dan membaca membuat diri mereka lengkap.

Selamat membaca! 
ikbaldelima
ikbaldelima Acehnese || A Teacher || Guidance Counselor || Newbie Writers || Loves Books And Movies

Post a Comment for "Sesulit Itukah Membaca?"