Gosip dan Bahayanya
Jika mendengar kata gosip, tentu
yang terbayang di benak kita adalah desas desus. Sebuah bumbu obrolan yang
membuat kita betah berlama-lama duduk dengan sahabat terdekat. Gosip memberi
gairah dalam berkomunikasi. Setiap ada gosip, rasa penasaran, degup tak
percaya, benci, kecewa, kagum dan beragam emosi lain selalu saja menyertai yang
berbicara dan yang mendengar. Ada aura emosi negatif dan positif ketika
bergosip, tergantung apa yang dibicarakan. Ekspresi terkesima tentu akan
terpancar di muka jika kawan bicara mendesuskan kabar positif dari sang pujaan
hati. Ekspresi jijik dan kesal, mungkin akan merekah di wajah tatkala tetangga
sebelah digosipkan selingkuh.
Pertanyaannya, seberapa seringkah
kita menggosipkan yang baik-baik kepada orang lain? Atau mungkin, kita lebih
sering terjerumus ke gosip-gosip yang membuat suasana hati panas?
Bagi masyarakat kita yang lebih suka sensasi daripada isi,
gosip negatif dengan mudah kita temui. Kita cenderung tak peduli akan perbincangan
mengenai penemuan ilmiah terbaru, buku terlaris tahun ini, politik mancanegara
dan beragam hal yang mengharuskan kita banyak berpikir dan membaca. Bandingkan dengan
mudahnya suatu isu murahan menjadi viral, seperti hantu kolor ijo, penculikan
anak oleh orang gila, kebangkitan komunisme dan lain-lain. Seberapa sering kita
bersikap seolah pintar, padahal hanya ikut-ikutan isu yang tengah tren di media
sosial? Seberapa sering kita peduli akan satu hal, mencari informasi yang
bermanfaat dan menentramkan hati meskipun tidak nge-tren?
Dalam kehidupan sehari-hari,
gosip-gosip yang menyebar dari kerabat-kerabat terdekat dengan mudahnya di anggap
sebagai fakta. Pun yang
dibicarakan umumnya hal negatif tentang orang lain, sekali lagi hanya demi
sensasi dan memicu adrenalin. Silahkan pembaca hitung sendiri, bandingkan
jumlah gosip positif dan gosip negatif yang pembaca atau kerabat pembaca
lakukan sehari-hari. Padahal, banyak dampak merugikan dari
menggosipkan sesuatu yang negatif pada orang lain. Oleh karenanya, artikel ini
berfokus pada apa-apa saja dampak gosip negatif bagi yang menggosip maupun yang
menggosipkan. Berikut pembahasannya
1. Menghujam
kebencian lebih dalam
Tentu ada alasan
kenapa seseorang bergosip tentang orang lain. Umumnya alasan-alasan itu berupa
benci, iri, kesal, atau mungkin hanya
ktagihan akan sensasi saja, persis seperi ibu-ibu bergosip di depan gerobak
sayur di sebuah komplek perumahan. Terkadang, gosip itu dilakukan dengan alasan
untuk ajang melepaskan emosi dan kekesalan, bahasa kikiniannya, sebagai tempat
curhat. Namun sayangnya, membicarakan orang lain mengakibatkan kebencian kita
akan orang yang bersangkutan semakin mendalam. Anggaplah kebencian pembaca akan
satu orang (apabila bisa diangkakan) sebesar 20%. Sebenarnya, pembaca tak perlu
bergosip karena kekesalan pembaca akan satu orang itu masih bisa ditoleransi,
tapi karena memang sedang asyik mengobrol, maka bergosiplah pembaca. Ketika
bergosip, pembaca akan kembali mengingat-ngingat detail menyakitkan, melibatkan
emosi yang lebih mendalam sehingga lebih yakin pada apa yang dipikirkan,
meskipun awalnya ragu. Ekspresi muka pembaca yang membentuk kerutan serius di
wajah, dan bahasa tubuh lawan bicara yang mengiyakan justru membuat pembaca
semakin yakin bahwa diri sendiri benar dan orang yang tengah dibicarakan
benar-benar salah 100%. Akibatnya, alih-alih meringankan stress, justru
kebencian menghujam lebih dalam ke dasar hati. Yang awalnya kesalahan teman pembaca
bisa ditolerir, setelah bergosip, seolah tak ada lagi maaf baginya.
2. Membenci
tanpa sebab
Pernahkah pembaca
mendengarkan sahabat membicarakan pihak ketiga yang juga kebetulan hanya pembaca
kenal sekilas? Apa yang pembaca rasakan? Apakah kebencian sahabat juga menular
kepada pembaca? Apalagi jika yang menggosip itu kawan dekat pembaca sejak
kecil, ia bercerita dengan mimik muka penuh emosi. Karena kedekatan pembaca
dengannya, pembaca pun juga turut membenci orang yang sedang dibicarakan.
Inilah kerugian kedua dari menggosip. Kita bisa membenci orang tanpa sebab.
Membenci orang yang bahkan tak pernah kita sapa. Padahal, bisa saja hal yang
sama tak akan terjadi pada pembaca jika berhubungan lebih dengan orang yang
digosipkan. Mungkin konflik sahabat pembaca dengan pihak ketiga hanya
karena miskomunikasi saja, tapi karena ikut-ikutan benci, relasi justru putus tanpa
penah kita mulai.
Selaku manusia,
kita mudah terlena dengan ragam emosi ekstrem yang terpampang di depan muka.
Jika teman pembaca menangis berlinang air mata karena pengkhinatan kawannya,
kita cenderung percaya membabi buta. Kita langsung percaya dan berkata dalam
hati, “Tidak mungkin dia menangis sampai seperti itu kalau kawannya tidak
benar-benar mengkhianatinya”. Jika ada orang yang cekcok mulut di jalan
bersebab kecelakaan bermotor, di satu sisi ada orang yang senyum cengengesan
dan satunya lagi murka bukan main, siapa yang akan pembaca anggap sebagai
korban dan siapa pelanggar lalu lintas? Kita turut terpancing emosi dan
beranggapan orang yang murka sebagai korban. Kita cenderung mempercayai
seseorang jika ia melibatkan emosi ekstrem seperi memaki-maki dan berlinang air
mata ketika berucap. Kita berpikir, “Tidak mungkin yang salah akan semarah itu,
justru yang cengengesan yang salah”. Padahal, kita sungguh tak tau apa-apa.
Kita hanya mensimpelkan masalah dengan emosi yang mudah terpancing. Sama halnya
dengan gosip, keterlibatan emosi dan mimik yang meyakinkan pada penggosip tentu
lebih meyakinkan, tapi itu bukan berarti
fakta yang bisa dipercaya. Karena ada sejuta cara untuk miskomunikasi dalam
sebuah hubungan.
3. Sekecil
apapun, bisa menggores hati cukup dalam
Pernah suatu
kali, salah satu teman dekat menceritakan bahwa saya digosipkan oleh sekumpulan
teman yang sudah saya kenal setahun. Hal yang digosipkan pun sepele dan dengan
mantap saya yakin hal yang digosipkan tidak ada pada diri saya. Namun meskipun
sepele, pembaca tau apa yang saya rasakan? Kecewa akibat pengkhianatan! Saya
berpikir waktu itu, mereka sungguh baik jika bertatap muka, tapi kenapa bisa
semunafik itu di belakang saya. Sungguh menyebalkan. Beberapa hari saya menahan
diri untuk tidak memaki orang yang bersangkutan. Mereka betu-betul tidak SETIA!
“Setia” adalah
suatu kata rumit yang selalu disimpelkan dengan artian tak berpaling dari
pasangan masing-masing, padahal tidak sepenuhnya benar. Saya tak bisa menemukan
padanan kata yang tepat 100% mewakili. Namun sinonim yang agak mendekati kata SETIA adalah “tetap”. Jika seorang pemuda
mencintai wajah cantik pasangannya ketika muda, ia mesti TETAP mencintainya mesti keriput mengerogoti seluruh kulitnya. Jika
pembaca berlaku baik kepada seseorang di depannya, maka pembaca juga harus TETAP berlaku sama dibelakangnya. Dan bergosip tidak mencerminkan ketetapan
pendirian, tak mencirikan sebuah kesetiaan. Dan setiap individu di bumi benci orang yang tak setia. Pikirkan perasaan
mereka jika orang yang mereka gosipkan justru becerita jelek di belakangnya,
meskipun hal sepele.
4. Yang
digosipkan akan berpulang ke diri masing-masing
Ada sebuah
penelitian mengatakan bahwa apa yang sering kita ucapkan kepada orang lain akan
berpulang ke diri sendiri (silahkan google sendiri sumbernya). Artinya, jika pembaca
bergosip sesuatu yang buruk kepada orang lain, gosip yang sama juga ditujukan
kepada pembaca oleh orang lain dan begitu juga jika pembaca mengucapkan hal
yang baik-baik. Ajaibnya, saya sendiri betul-betul menemukan ini di kehidupan
nyata. Pernah suatu ketika seorang teman menggosipkan pihak ketiga bahwa yang
bersangkutan kaku, sombong dan sulit akab dengan orang lain. Saat itu saya
sungguh tersenyum miris, karena di lain tempat, teman saya ini digosipkan hal
yang hampir sama oleh sekumpulan teman lain sehari sebelumnya. Beberapa kasus
yang tak jauh berbeda juga sempat saya temukan.
****
Oleh karenanya, mari hati-hati
dalam bicara. Jika pun mesti bergosip, ucap yang baik-baik saja. Semoga suatu
saat orang lain juga menggosipkan yang baik di belakang kita. amin
Post a Comment for "Gosip dan Bahayanya"