Kenapa banyak berita negatif di TV?
Mengupdate informasi sering
dijadikan alasan untuk menghilangkan penat. Salah satu acara yang sering menjadi
pengalihan di antara jam istirahat adalah berita, baik itu di TV, koran,
radio,ataupun media online. Namun, jujur saja, apa yang pembaca rasakan setelah
menonton atau membaca berita? Betulkah menghilangkan stres atau justru malah
menambah resah di dada?
Dewasa ini, banyak orang yang
mengeluhkan berita-berita yang bersiliweran lebih banyak negatifnya. Dengan
alasan ini, tak sedikit pula orang yang berhenti bertahun-tahun menonton berita
di TV karena efek negatif yang dirasakan setelahnya.
Pertanyaannya, apakah yang menyebabkan
berbagai sumber media berita selalu meresahkan bagi kita. Berikut ulasannya:
Beberapa hari
sebelumnya, ada yang nyeletuk begini,
“Walaupun dibilang gimana-gimana, tetap jaman Soeharto yang paling enak. Harga
barang murah-murah. Gak banyak berita
musibah, korupsi, pembunuhan , penyakit macem-macem.”
Ketika mendengar
kalimat itu, saya hanya terdiam dengan senyum miris saja. Belakangan, memang banyak
orang yang mengingat romantika masa lalu tanpa informasi yang lengkap. Lah
gimana mau lengkap, kenyataannya selama dipimpin Sang Jendral selama 32 tahun
itu, media semua dia yang kontrol. Banyaknya kabar manis di zaman itu bukan
berarti meniadakan kabar buruk. Lagi pula saat itu, media massa belum semaju
dan seberagam sekarang. Indonesia ini luas, zaman di mana berita sudah begitu
memuakkan karena sangat banyaknya seperti sekarang ini, masih bejibun berita di pelosok tanah air yang
tidak diketahui. Bahkan banyak orang yang menyebut media-media yang menamakan
diri media nasional itu dengan sebutan media jawa, ya karena isinya didominasi
berita di pulau jawa.
Belum lagi,
sekarang ini, update informasi sudah hitungan detik. Kita tak lagi harus
menunggu berita di koran besok pagi atau menonton berita TV di jam pagi, siang
atau sore. Di zaman internet seperti ini, saat BAB dan ketika iler kering masih
tertempel di sudut bibir, kita sudah tau kejadian di sudut lain dunia. Jadi
yang menjadi masalah, bukan lebih banyaknya berita negatif dibandingkan zaman
dulu. Melainkan kitanya saja yang telah dibanjiri beragam informasi.
Di lain waktu,
ada seseorang yang berkata begini setelah menonton TV, “Ya ampuun, dunia udah
kiamat”. Hal ini sering dilontarkan ketika TV selalu menghadirkan berita-berita
negatif seperti kasus korupsi, hubungan badan antara anak dan ibu serta berita
mencengangkan lainnya, berita-berita yang memancing emosi penontonnya. Kalau
pembaca mau menghitung jumlah berita negatif dan positif saat news show, hanya hitungan jari ketika
berita menyenangkan ditayangkan. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan banyak
sekali berita negatif?
Jawabannya karena
masyarakat kita lebih tertarik kepada sensasi. Bahkan hampir di semua lini,
bukan hanya berita. Contoh misalnya, pernahkah pembaca mengamati pola kawan, paman atau kerabat terdekat
lainnya saat menonton film Holliywood. Coba setel film yang sepanjang durasinya
menampilkan ledakan-ledakan dan peperangan seperti Rambo, Die Hard, Fast Fourious dan film sejenis lainnya,
saya yakin semua hampir menyimak dengan khusyuk. Saya sering mengamati di
sela-sela para aktor berdialog, para penonton di warung kopi dekat rumah justru
mengalihkan pandangan dan melakukan aktifitas lain seperti ngobrol, memainkan
HP dan lain-lain. Tapi ketika audio TV mulai memainkan suara yang berisik,
semua mata kembali terarah ke layar TV. Lalu, coba putar film yang alur ceritanya menegangkan dan minim tam tum, menyediakan banyak dialog yang memancing berpikir, serta mengocok emosi penonton dengan akting pemainnya seperti film The Imitation Game, Changeling, The Theory Of
Everything, dan Hidden Figures.
Belum 10 menit film dimainkan, Ibu, bapak dan orang rumah lainnya pasti pada protes,
“Film yang berantem gak ada?” Film serius dan inspiratif seperti itu tidak akan
laku pada kebanyakan masyarakat kita. Di dunia berita, hal yang sama juga terjadi. Jika berita yang dihadirkan
menghebohkan dan menimbulkan sensasi menegangkan seperti kasus teroris,
korupsi, musibah, debat kusir para politisi, perkelahian anggota DPR dan sebagainya, sangat sulit bagi kita untuk
mengalihkan channel TV. Sesekali, mungkin ada beberapa berita positif seperti anak
bangsa yang memenangkan event internasional,
penemuan baru oleh anak negeri, keadaan ekonomi yang membaik dan sebagainya.
Tapi pembaca yakin kalau ibu-ibu di rumah, bapak-bapak yang hanya menamatkan pendidikan
paling tinggi SD mau nonton? Atau mungkin pembaca sendiri, yang baru berumur di
bawah 40 tahun dan berpendidikan sarjana, tertarik menonton berita yang tidak
membuat jantung berdegup-degup namun sarat informasi dan inspirasi? Saya yakin
sih ada pembaca yang menyukai berita seperti ini, tapi kok saya agak ragu jika
jumlahnya banyak. Para bos TV itu pelaku bisnis, mereka akan melakukan segala
cara unuk mendapatkan uang. Caranya adalah dengan membelikan apa yang masyarakat
inginkan, bukan apa yang masyarakat butuhkan. Selalu akan begitu sampai dunia
kiamat. Siaran TV akan berkualitas kalau manusianya pun sudah berkualitas. Jadi
jangan mengeluh jika berita di TV banyak yang meresahkan jika kita sendiri
cepat bosan jika dipaksa berpikir saat acara-acara berkualitas di putar.
Post a Comment for "Kenapa banyak berita negatif di TV?"