Kalimat Yang Membuat Terpaku
Ketika tengah melakukan
sesuatu, mungkin sesekali kita berhenti saat ada beberapa kalimat yang meresap di
kepala, baik itu terdengar dari berbagai media audio visual atau dari obrolan ngalor-ngidul dengan sahabat. Atau menemukan
kalimat yang sangat mengena ketika menikmati bacaan tertentu. Sebuah kalimat
pendek namun membuat kita lama merenung. Terkadang, kalimat singkat itu sungguh
mewakili kegalauan kita sekarang. Sebuah kalimat yang menginspirasi dengan seketika.
Melalui artikel ini, saya hanya
curhat saja. Tentang dua kalimat yang membuat saya mematung beberapa saat. Dua
kalimat itu dengan takjubnya membuka pikiran yang selama ini tertutup.
Saya tak akan memvonis diri
sendiri sebagai pribadi yang anti sosial, tapi satu hal yang perlu saya akui, kemampuan sosial saya
agak buruk. Untuk betul-betul akrab dengan orang, minimal waktu yang saya butuhkan
sekitar beberapa bulan. Beda mungkin dengan individu-individu yang bisa
menjadikan seseorang menjadi teman hanya dengan hitungan hari atau minggu.
Saya sering menghindar jika
dihadapkan dengan event-event yang
semestinya mengakrabkan saya dengan orang tertentu. Banyak sekali alasannya,
namun ada tiga alasan utama: takut, merasa tidak pantas dan memiliki stereotip
akan orang yang baru saya kenal.
Ketika saya bertugas selama
setahun di daerah, masalah ini pun kembali mengganjal hati. Saya ingin sekali
akrab dengan orang lain, tapi ketiga kekurangan saya di atas betul-betul
menghambat. Bahkan, pertahanan ego saya menciptakan alasan lain selain mengakui
kekurangan diri ketika segala sesuatu tak berjalan dengan harapan. Misalnya, ketika
di daerah pengabdian, saya selalu menolak seorang Ibu yang pasti mengajak saya
menginap di rumahnya setiap kali berjumpa. Lama-kelamaan, karena keseringan
diajak, saya mulai kesal. Beragam alasan pun bermunculan di kepala, mulai dari alasan
jarak yang jauh antara rumah ibu itu dengan tempat bertugas, tempat menginap
ibu itu yang tidak nyaman sampai membenarkan perasaan tidak enak karena
merepotkan.
Keresahan ini pun saya sampaikan
ke salah satu kawan yang memiliki kemampuan sosial yang menurut saya baik. Ia
mendengar keluhan saya dari awal sampai akhir tentang Si Ibu yang selalu
mengajak menginap. Tapi di akhir cerita, dia membalas dengan satu kalimat yang
mampu membuat saya tercengang dan mesti mengakui kekurangan. “Kita di sini cari
keluarga! Kalau mau enak, balik nginap ke keluarga sendiri sana!” Jlep. Sebuah
kalimat yang membantah ragam alasan untuk membenarkan diri.
Kalimat itu membuat saya
tertampar, di satu sisi ingin akrab dengan orang lain, tapi malas berusaha,
malas susah. Malas mencari keluarga kalau dalam bahasa kawan saya. Pinginnya
bisa mudah akrab langsung seperti keluarga sendiri, tapi kita (saya) lupa, kami
tak dilahirkan dari keluarga yang sama.
Rentetan kata ini masih terngiang-ngiang di kepala saya hingga
kini dan menjadi pengingat diri untuk lebih berusaha memperbaiki diri (khusunya
hubungan sosial) dan menghargai ketulusan orang lain.
Rasa takut di satu sisi berguna
sebagai alat dalam membentuk kehati-hatian dan di sisi lain memiliki efek
negatif yakni berhentinya perkembangan diri dan minimnya pengalaman akibat
terlalu takut bergerak, seperti saya. Alih-alih berpikir postitif, saya justru
lebih banyak berpikir negatif. Saya rasa-rasa, banyak hal yang stagnan dalam
hidup karena sifat terlalu penakut ini. Tidak salah memang jika salah satu dosen
pernah mempertanyakan kenapa saya underachiever.
Pertanyaannya, bagaimana sih cara
mengatasi rasa takut itu? Apalagi bagi saya yang terlalu banyak memikirkan
suatu hal sebelum bertindak. Beberapa hari yang lalu, jawaban dari kegalauan
saya ini terjawab dalam sebuah novel fantasi berjudul Inheritance karangan
Christopher Paolini. Kira-kira, salah satu tokoh di dalam bukunya berucap
begini, “Takut itu berawal dari terlalu banyak berimajinasi, bukan seperti
sangkaan kita selama ini, karena rasa takut berlebihan”. Kalimat itu simpel
memang, dan mungkin tanpa kita membaca novel setebal itu, semua orang tau kalau
rasa takut memang berawal dari pikiran. Tapi ragam peristiwa dan kisah yang
mengiringi kemunculan kalimat tersebut dalam novel itu betul-betul mengena.
Setiap saya ragu-ragu dan
berhenti untuk melakukan suatu hal (kebanyakan bermanfaat), saya pasti terlebih
dahulu berimajinasi. Ragam gambar muncul di kepala. Bermacam ekspresi orang lain
terbayang dan membuat takut bertindak. Khayalan-khayalan ini biasanya disertai
dengan pertanyaan-pertanyaan yang diawali dengan kata “kalau”. Kalau seperti
ini nanti gimana ya? Kalau nanti salah gimana ya dan sebagainya.
Aksara itu menghujam satu konsep ke pikiran saya. Jika
ingin maju, bergerak! Jalan! Gak perlu mikir yang bukan-bukan. Bertindak
langsung, tidak perlu berkhayal!
Mesti simpel tapi kedua kalimat
itu membuat saya memiliki semangat dan acuan untuk bergerak. Kerennya,
kalimat-kalimat yang bermakna itu sering kali muncul ketika saya tidak terlalu
sibuk berbicara dan memikirkan diri sendiri. Dua kalimat di atas justru muncul
ketika saya sedang ingin mendengar nasehat dari orang lain dan berhasrat
membaca buku. Oleh karenanya, mari menjemput ilmu...
Post a Comment for "Kalimat Yang Membuat Terpaku"