Saya Masih Belajar
Ada sebuah doa yang selalu saya
haturkan selepas Sholat. Saya meminta kepada-Nya untuk membantu saya
melembutkan hati di kala saya berhadapan dengan situasi-situasi yang membuat
saya marah, kecewa dan tertekan.
Pada situasi-situasi seperti itu,
menjadi naluri kita untuk defence
dengan menyalahkan orang lain dan membela diri habis-habisan. Dan saya juga
sering melakukan hal itu. Tapi ada satu rasa yang selalu saya alami ketika defence mekanisme itu memancang pagarnya
dengan kuat, saya menjadi kecewa pada diri sendiri. Memang ada rasa nyaman
ketika melakukan defence, tapi jauh di dalam sana, saya paham, saya sungguh tak
belajar apa-apa dari konflik yang saya alami.
Bagi saya, situasi tak nyaman
yang sering saya alami di masa lalu membuat saya reaktif terhadap hal-hal yang mengecewakan
atau mungkin akan mengecewakan. Saya betul-betul cepat sensitif terhadap hal
yang mengecewakan dari sudut pandang saya. Tapi saya belajar dari masa lalu,
repon-respon marah, selogis apapun itu alasannya, selalu membuat keadaan
semakin runyam. Saya masih sering lepas marah, dan itu selalu saya sesali, tak
peduli semasuk akal apa alasan saya marah.
Melembutkan hati dikala waktunya
untuk defence itu bukan suatu hal
yang mudah. Ada kalanya, ketika saya sudah bersusah payah mengalah, situasi
justru memukul lagi. Ketika sedang dalam situasi tidak mengenakkan dengan orang
misalnya, meminta maaf ternyata tidak semudah dulu. Padahal, meminta maaf merupakan
proses yang membutuhkan penekanan ego yang luar biasa, termasuk bagi saya. Penekanan
ego untuk meminta maaf itu menjadi semakin luar biasa sulit ketika kita meminta
maaf justru bukan karena kita salah 100%. Pihak sebelah juga salah, tapi meminta
maaf duluan justru dilakukan untuk menggapai rasa damai. Lalu kenapa meminta
maaf itu sekarang jutsru sangat sulit? Karena, pengalaman saya meminta maaf jarang
dimaknai sebagai keikhlasan hati. Justru dimaknai sebagai, “Tuh kan, dia minta
maaf, akhirnya dia ngaku salah juga!”. Di saat saya meruntuhkan pagar defence untuk meminta maaf, balasan yang
saya dapat justru membuat saya kembali memasang defence dengan pagar beton berlapis baja.
Saya masih belajar, dan tak
mungkin belajar jika tidak membuat kesalahan. Dan semoga saya masih bisa terus
merendahkan ego ini setiap kali saya memiliki masalah. Masih bersedia meminta maaf tak peduli
siapa yang salah (pada kondisi-kondisi tertentu pastinya). Kapokkah saya meminta maaf? Tidak! Terlalu naif bagi saya
jika mengharapkan semua orang yang ditakdirkan berbeda akan bersikap sama
seperti yang saya harapkan. Saya mungkin bisa mentolerir rasa kecewa yang saya
alami. Tapi saya tidak tau seberapa dalam saya sudah menggores hati seseorang. Atau
seberapa jauh kesalahan itu dimasukkan penerimanya ke dalam jurang kekecewaan. Meminta
maaf, merupakan kewajiban saya, tapi pemberian maaf, itu murni hak orang.
Jakarta, 18 Maret 2018
Post a Comment for "Saya Masih Belajar"