Pem-bully Itu Menyedihkan
Di awal-awal kuliah, ada alasan
tertentu kenapa saya merasa perlu membaca kertas-kertas terjilid itu. Ada gema
suara yang selalu berdendang di gendang telinga, “kamu harus berubah, kamu
harus habiskan buku-buku itu! Jangan seperti ini lagi”. Pada tahap itu, saya
merasa, inilah saatnya mengakhiri hidup yang penuh dengan rasa malu dan
ketidakbanggaan akan diri. Awal mulai kuliah adalah awal sebuah asa. Dan untuk
mencapai asa itu, saya harus keluar dari keputusasaan yang telah lama
menghantui.
Saya tak bisa ingat dengan pasti,
berapa banyak buku bertema how to yang saya habisi. Yang jelas,
hampir setiap dua minggu sekali, saya bolak-balik ke perpustakaan daerah untuk
memperpanjang atau meminjam lagi buku bertema pengembangan diri. Tujuannya
satu, merubah diri.
Lambat laun saya sadar, ada
sesuatu yang salah. Ada banyak hal yang bisa ubah, tapi tak peduli seberapa
keras saya mencoba, ada takut yang seakan tidak bisa hilang. Ada trauma yang
tidak mudah dihapus. Dan trauma ini, seringkali menyebar ke hal lain dan
sungguh mempengaruhi hidup. Saat sebuah
kerumunan tertawa ketika saya berada di dekat mereka, bukan sekali dua kali
saya kaget dan curiga, “apa mereka menertawakan saya?” Lebih dari sekali, saya
mengunci diri di dalam kamar, bersebab takut tentang apa yang akan saya dapat
di luar.
Saya tahu penyebabnya apa. Saya
tinggal di tubuh ini puluhan tahun, dan tahu dengan pasti bagaimana bully menjadi lukisan buram yang
menghiasi masa kecil. Saya tidak ingin menjelaskan kenapa saya di-bully, karena selain ini masalah pribadi, saya juga tidak ingin menyinggung
orang di masa lalu yang mungkin sudah tidak sekanak-kanak dulu.
Masa SD dan SMP penuh dengan bully dan maki. Saya ingat panasnya tamparan di pipi ketika anak itu menyadari
saya berasal dari sekolah yang berbeda. Saya masih hafal dengan terperinci,
tawa licik yang betul-betul merendahkan itu. Saya malu dan tidak bisa berbuat
apa, ketika anak ganteng dan kaya itu meludah tepat di kaki dan mengumpat
dengan bahasa kasar. Saya sakit dan malu luar biasa, ketika tersungkur akibat
hantaman kaki berbalut sepatu pada mata sebelah kanan, mendapati celana sobek akibat
benturan keras, namun beberapa teman hanya tertawa dan menonton.
Masa SMA tak jauh beda. Saat sudah
menikmati masa sekolah di ibukota, saya harus mulai dari nol lagi. Menghadapi
sinisme anak-anak dan remaja Aceh, yang masih memendam benci pada Jawa yang
mengacau di kampung mereka. Bahkan tanpa mereka tau, bahwa pulau Jawa tak
semuanya bersuku Jawa. Tanpa tau, bahwa anak kecil itu, tidak memilih untuk
berlogat anak ibukota. Ia hanya terpengaruh lingkungan semata. Bully pun kembali berlanjut dengan
cerita lain yang terlalu meletihkan untuk dikisahkan.
7 tahun
setelahnya, keadaan mulai membaik. Ada satu hal yang sangat saya pahami saat ini dan
mungkin berguna bagi korban bully,
bahwa sesungguhnya terintimidasi oleh pem-bully
sangatlah tidak perlu.
Bully berkelanjutan akan memunculkan
perasaan bagi korbannya bahwa dirinya memang tidak berharga dan memiliki banyak
kekurangan di sana-sini. Kita menganggap bahwa pem-bully adalah orang yang begitu bahagia, banyak tertawa dan memiliki
banyak teman di sana-sini. Memiliki pengikut yang setia tertawa setiap kali si
pem-bully beraksi. Ter-bully merasa rendah diri, pem-bully terasa keren.
Tapi tahukan
pembaca, bahwa tak ada hal keren sedikitpun dari mem-bully orang lain. Saya jadi teringat pepatah arab yang kira-kira
berbunyi, “Sebuah teko hanya akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya”. Seorang
guru yang dihormati masyarakat, tinggi derajatnya karena ia memiliki
nilai-nilai yang bagus dalam dirinya dan itu terpancar dari perilaku dan
penampilannya. Habibie menjadi orang yang menginspirasi karena ia memiliki
pengalaman puluhan tahun penuh perjuangan. Mereka memiliki banyak hal baik
dalam hidupnya, dan orang sekitar ikut merasakan. Seseorang memiliki suatu
barang dan sifat, dan hanya itu yang bisa dirasakan orang di sekitar.
Konsep pepatah
Teko tadi juga berlaku bagi pem-bully.
Ketika seseorang memiliki banyak kesedihan dalah hidup, maka kesedihan itu akan
dirasakan orang sekitar. Ketika seseorang memiliki kebahagiaan dan kepuasaan
dalam hidupnya, aura ceria turut dirasa orang sekitar. Pem-bully perlu merasa merendahkan orang lain untuk merasa bahagia,
justru karena ia tidak memiliki kebahagiaan itu sendiri. Ia merendahkan orang
lain, justru karena ia merasa rendah diri, entah itu karena absennya keharmonisan
dalam keluarga, dilecehkan lingkungan sekitar dan lain-lain. Ia merendahkan
orang lain agar merasa bahagia dengan cara mudah. Gampang bukan meraih
kebahagian dengan mengumpat satu dua kata, jika dibandingkan dengan kebahagiaan
yang diraih dengan bersusah payah berprestasi?
Konsep ini,
membuat saya menjalani hidup dengan lebih rileks. Hidup saya ternyata lebih baik.
Bagi korban bully, saya hanya ingin
berkata, pem-bully itu keren hanya
pada tampilan luarnya saja, di dalamnya mereka sakit dan menyedihkan. Mereka lebih
menyedihkan justru dari diri kita sendiri. Kita terkadang juga merasa tidak
bahagia, tapi tidak merasa berhak turut melecehkan orang lain hanya untuk meraih
tawa. Kita tahu rasa malunya merasa rendah diri, dan itu membuat kita merasa
cukup diri ini yang merasakannya, orang lain tidak perlu. Mereka sakit dan
jangan pedulikan omongan orang yang sakit. Buat apa terlalu ambil hati atas
omongan orang yang sakit jiwanya. Meskipun begitu, jangan hilangkan kepedulian
kita akan mereka. Mereka bertindak begitu bukan karena mereka menikmati hidup. Mereka
membully, justru karena banyak
kesedihan yang mereka lalui. Mungkin mereka sering tertawa melecehkan, tapi
kita tak tahu berapa ribu malam yang mesti dilaluinya dengan keresahan dan
kesedihan.
Post a Comment for "Pem-bully Itu Menyedihkan"