Harapan-Harapan Di Balik Pujian
Jika kamu melihat seorang Ayah yang memuji anaknya kepada tetangga, yakinlah bahwa sang ayah berharap anaknya sukses suatu hari kelak. Jika kamu dipuji karena wajahmu yang enak dilihat, bukan tidak mungkin kalau orang yang memujimu berharap kamu mendapatkan pasangan yang “selevel” dengan wajahmu. Jika atasanmu memuji karena kinerja baikmu, hal yang wajar jika ia berharap kamu dapat mempertahankan kinerjamu di kemudian hari. Itulah hukum tak tertulis dari sebuah pujian. Ada harapan dan kondisi ideal yang diharapkan kamu capai karena keberhasilan yang menghasilkan pujian itu.
Siapa sih yang
tidak suka dipuji? Jika kamu pribadi yang sedikit sombong, keinginanmu untuk
tampak lebih tinggi dari yang lain akan terwujud. Bagi kamu yang rendah diri,
pujian setidaknya memberikan kepercayaan diri bahwa kamu mampu seperti orang
lain. Dan bagi kamu yang rendah hati, pujian menjadikanmu pribadi yang lebih mudah
bersyukur atas prestasi yang kamu dapat.
Seringkali
pujian-pujian ini menjadi tekanan bagi orang bersangkutan, terutama ketika
orang-orang hanya memberikan dukungan dan semangat ketika prestasi dicapai dan
mencaci atau mengabaikan ketika ia terpuruk. Yah, banyak yang seperti ini. Pengalaman
dipuji ketika berhasil dan diabaikan serta dihina ketika gagal ini umumnya
menimbulkan dua reaksi dan sikap yang berbeda.
Rekasi dan sikap
pertama adalah mengejar kembali perhatian dari orang-orang yang telah
menganggapnya gagal. Sikap ini timbul dari ketidaknyamanan yang dirasakan dari
pengabaian. Bagi orang yang terbiasa dengan hiruk-pikuk tepuk tangan, kesunyian
karena ditinggalkan lebih memekakkan telinga dibandingkan keramaian itu
sendiri. Sikap dan reaksi pertama ini seringkali hanya menimbulkan rasa tidak
bahagia. Karena selalu saja ada tuntutan dan harapan yang lebih dari orang sekitar
setiap kali prestasi dicapai. Akibatnya, rasa menerima diri dan bersyukur yang
seharusnya menimbulkan kebahagiaan ketika prestasi tercapai menjadi lenyap
dengan adanya ambisi selanjutnya dari orang-orang sekitar terhadap dirinya yang
seolah tanpa akhir.
Reaksi atau
sikap kedua yang biasa dilalui ketika dipuji saat berhasil dan dibaikan serta
dihina ketika gagal adalah takut. Hinaan dan pengabaian pada kegagalan
sebelumnya memberikan trauma pada yang bersangkutan. Alam bawah sadarnya seolah
berkata, “daripada aku melakukan sesuatu dan aku gagal, lebih baik aku tak
melakukan apa-apa”. Pengalaman diabaikan dan dihina sebelumnya membuat si
individu menunda-nunda perkerjaan. Ia menjadi takut gagal jika melakukan
sesuatu. Ia menjadi takut akan pandangan orang jika apa yang dikerjakannya tak
sesuai dengan harapan mereka. Baginya, menunda pekerjaan berarti menunda
timbulnya rasa tak berharga jika apa yang dilakukannya gagal. Itulah sifat
alami manusia, sadar atau tidak, kita berjalan untuk menghindari rasa sakit. Akibatnya,
potensi yang dimilikipun mati ditengah jalan.
Reaksi ke dua
mengingatkan saya pada tokoh di Film 3 idiot, Raju. Pada film tersebut,
Prestasi Raju menjadi rendah akibat ketakutan-ketakutannya jika tak bisa
memenuhi tuntutan dan membahagiakan orang di sekitarnya. Banyaknya pengorbanan
keluarga agar ia bisa kuliah membuatnya takut jika nanti ia tak berhasil
memenuhi harapan keluarganya. Ia menjadi takut jika ia gagal kuliah sehingga
tak bisa membiayai pernikahan kakaknya yang sudah berlebel “perawan tua”. Ia
takut jika gagal dalam perkuliahan sehingga tak bisa membiayai pengobatan
Ayahnya yang terbaring sakit di rumah. Kenyataan bahwa banyak uang yang
seharusnya bisa membiayai pernikahan kakaknya dan pengobatan ayahnya justru
diberikan untuk membiayai kuliahnya memberikan rasa takut gagal yang lebih
menekan. Dalam hal ini, takut gagal dan situasi di rumahnya justru membuatnya
semakin tak berkonsentrasi kuliah.
Pada titik ini,
mungkin saja pembaca bertanya, “kalau kamu takut gagal, kenapa kamu tidak
bersungguh-sungguh sekarang supaya tidak gagal nantinya?”
Masalahnya,
takut gagal bisa memberikan efek berbeda tergantung orang yang bersangkutan.
Takut gagal pada orang tertentu akan memberikan motivasi untuk bekerja
sungguh-sungguh agar kegagalan dapat dihindari. Pada orang lain, takut gagal
membuatnya berhenti bergerak. Ketidakyakinan akan kemampuan diri
membuatnya mengulur-ngulur waktu. Pada topik ini, diabaikan dan dicibir ketika
gagal (apalagi terus menerus) menghancurkan pondasi keyakinan diri yang awalnya
terbentuk. Apalagi jika pribadi yang diabaikan dan dicibir ini sensitif dan
rapuh, sekali saja hal tersebut dialami, keyakinan dirinya bisa hancur total.
Maka dalam hal
ini, yang bisa kita lakukan kepada sesama adalah menganggap semua individu
secara utuh. Sebagai manusia yang bisa berhasil dan bisa juga gagal. Jangan
seperti serangga yang berbondong-bondong mengagumi cahaya lampu yang gemerlap
lalu ramai-ramai meninggalkan ketika lampu itu dipadamkan atau rusak. Pujilah
ketika mereka berhasil dan berikanlah dorongan ketika mereka gagal. Bisakah
kita berjalan tegap seperti saat ini jika dulu orang tua kita hanya memberi
tepuk tangan dan sorak sorai ketika anaknya yang berumur 2 tahun bisa melangkah
beberapa langkah lalu meninggalkan dan memarahinya ketika jatuh?
Dan bagi kita
yang tidak pernah menunjukkan kepedulian sebelumnya, tidak perlu rasanya
menunjukkan kehebatan dengan mengkritik orang lain ketika ia gagal padahal
sebelumnya ketika ia berhasil kita tidak pernah ada.
sumber gambar : fajar.co.id
sumber gambar : fajar.co.id
Post a Comment for "Harapan-Harapan Di Balik Pujian"