Brisingr: Ketika Pertempuran Kolosal dan Intrik Politik Bersatu Dalam Novel Fantasi
Judul : Brisingr
Pengarang : Christopher Paolini
Penerjemah : Poppy Damayanti Chusfani
Bahasa : Indonesia
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Banyak Halaman : 864, 23 cm
Terbit : 2009
Serial : Siklus Warisan (Inheritance), buku ke 3
Genre : Fantasy
“Aku
tidak bisa berpura-pura menyukainya, tapi tujuan hidup bukanlah untuk melakukan
apa yang kita inginkan, tapi melakukan apa yang perlu dilakukan” (Oromis, 788)
Rasanya agak geregetan
sendiri ketika memperhatikan harga buku Brisingr ini. Satu sisi sangat ingin
melanjutkan seri buku Inheritance dan di satu sisi agak tercengang pas lihat label harganya ketika pameran beberapa
bulan yang lalu. Alhasil, badan mesti kembali pulang tanpa ada barang tambahan
yang mesti digenggam. Lalu, ketika uang sudah cukup, pameran ditutup. Atau di
lain kesempatan, ketika ada lagi pameran, buku yang diincar tak lagi tersisa
atau uang yang tak lagi ada. Maka, pusing karena siklus “ada uang tapi gak ada
buku dan gak ada uang tapi ada buku” selalu berulang, maka saya memantapkan
niat untuk membuat kartu member pada
toko yang khusus menyewakan buku/novel dengan harga tertentu.
Brisingr, nama novel ini diambil
dari bahasa kuno yang dalam buku ini berarti Api. Brisingr menceritakan
perjuangan kaum Varden, Elf dam Kurcaci setelah pertempuran kolosal di Dataran
Membara. Selain menyisakan kesedihan akibat kematian Raja Kaum Kurcaci,
Hothgar, pertempuran di Dataran Membara masih menyisakan tugas utama yang telah
lama diemban Eragon dan roran, yakni membinasakan Ra’zak yang telah membunuh Garrow,
paman Eragon dan Ayah Roran.
Sama seperti sebelumnya,
Christopher Paolini masih menceritakan kisah dalam berbagai petualangan yang
mesti memaksa tokohnya bertualang ke berbagai tempat. Berkeliling di daerah
yang masuk kekaisaran yang dikuasai Galbatorix pun menyebabkan Eragon dan Roran
mesti mengalami berbagai pertempuran. Namun begitu, buku ini tidak hanya
bertutur tentang gejolak pertempuran yang menegangkan. Berbeda dengan buku
fantasi lain yang beralur cepat, sebagian pembaca mungkin saja menilai buku ini
terlalu membosankan karena berbagai diplomasi politik di dalamnya. Namun bagi pembaca
lain, diplomasi politik yang rumit dan unik dalam buku ini justru menjadi daya
tarik tersendiri (setidaknya bagi saya).
Brisingr setidaknya mengisahkan
dipolomasi politik pada dua tokohnya, yakni Nasuada dan Orik. Usia muda yang
dimiliki Nasuada membuat banyak pihak meragukan kepemimpinannya atas Kaum
Varden. Banyak suku di dalam kaum Varden yang bahkan merendahkan Nasuada hanya
berdasar fakta bahwa ia perempuan. Maka, setidaknya berbagai bentuk diplomasi
unik perlu dilakukan Nasuada untuk meyakinkan berbagai suku yang membentuk kaum
Varden akan kemampuannya memimpin. Di lain sisi, Orik memiliki dilema
tersendiri pada pemilihan Raja kaum Kurcaci yang mesti dilakukan secepatnya akibat
meninggalnya Raja Kaum Kurcaci sebelumnya, Hothgar. Berbagai suku yang
menentang bantuan kaum kurcaci dalam membantu Kaum Varden dan Elf dalam
memerangi kekaisaran membentuk kelompok sendiri untuk meloloskan raja yang
sependapat dengan mereka. Sedangkan bagi Orik, hilangnya bantuan kaum kurcaci
dalam usaha memerangi Galbatorix merupakan langkah bunuh diri bagi kaum Kurcaci
sendiri. Karena jika kaum Varden dan Elf kalah, bukan tidak mungkin Galbatorix akan
menancapkan tombak kekuasaannya pada kaum Kurcaci.
Menyadari pentingnya posisi
Eragon sebagai satu-satunya penunggang merdeka dan posisi Eragon sendiri
sebagai salah satu anggota angkat kaum Kurcaci, maka Nasuada mengirimkan Eragon
untuk memastikan bahwa raja Kurcaci yang terpilih tetap mendukung dan membantu
perjuangan kaum Varden ke depannya. Namun begitu, Brisingr tak hanya
menceritakan peran eragon dalam membalas dendam pada Ra’zak atau kegiatan
diplomatisnya di antara kaum kurcaci, melainkan sederat persoalan lain.
Setelah memilih Raja baru Kaum
Kurcaci, maka eragon kembali mesti berada di tempat lain sebagai konsekuensinya
sebagai satu-satunya penunggang naga yang merdeka. Di salah satu pertempuran
terakhir yang melibatkan Murthag dan naganya Thorn, eragon kembali dibingungkan
dengan meningkat drastisnya kekuatan Murthag dan Naganya Thorn. Ia pun bingung
dengan kemampuan Galbatorix yang mampu menyihir ratusan bahkan ribuan prajurit
untuk memiliki kemampuan mengerikan. Bagi perapal mantra/penyihir normal,
memberikan kekuatan sihir seperti yang dilakukan Galbatorix pada sepuluh
prajurit saja sudah mampu membunuh penyihir itu sendiri. Maka bertemu dengan
Oromis dan Glaedr merupakan suatu kebutuhan yang tak lagi dapat ditunda jika
ingin mengalahkan Galbatorix.
Jauh di pedalaman hutan Du
Weldenvarden tempat Oromis dan kaum elf lain bersembunyi, fakta-fakta
mencengangkanpun terungkap. Oromis dan naganya Glaedr pun menuturkan tentang
siapa ayah Eragon sebenarnya dan darimana kekuatan Galbatorix berasal. Merasa
cukup memadai dengan ilmu yang telah diajarkan kepada muridnya, Oromis dan
Naganya Glaedr memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya selama beratus-ratus
tahun terakhir untuk membantu pertempuran Kaum Elf di Gil’ead. Sedangkan Eragon dan
Saphira menuju ke arah yang berbeda untuk membantu pertempuran kaum varden di Fienster.
Di lain pihak, Roran pun mesti
bergabung dengan kelompok prajurit yang ditugaskan Nasuada untuk menghancurkan
perbekalan perang yang dibawa oleh prajurit Galbatorix. Berbagai pertempuran
sengitpun dilalui roran dan teman seperjuangannya.
Bagaimanakah kelanjutan kisahnya,
apakah Oromis yang telah menderita sakit cukup lama mampu mengalahkan pasukan
Galbatorix di Gil’ead? Mampukah Eragon dan Saphira sampai tepat waktu untuk
membantu pertempuran kaum Varden di Fienster? Dan bagaimanakah dengan Roran,
apakah iya mampu meyakinkan Nasuada akan kemampuannya memimpin dan memenangi
pertempuran?
Mari baca kisahnya di Brisingr,
buku ke tiga siklus warisan karangan Christopher Paolini.
****
Sebenarnya banyak sekali cerita
yang bisa saya tulis di sini, tapi mengingat ketebalan dan keinginan untuk menghindari
spoiler, maka saya sebisa mungkin
menulis inti cerita dalam buku ini. Maklum, dengan tebal 864 halaman, buku ini
tentu menyajikan banyak kisah. Jika dibandingkan dengan jumlah halaman pada
buku Harry Potter yang ke tujuh (Harry Potter and The Deathly Hallows), memang
jumlah halaman buku ini kalah banyak. Tapi dengan jarak spasi yang diketik
lebih rapat dan panjang buku yang lebih tinggi, maka buku ini lebih banyak
memuat kata.
Brisingr memiliki banyak
kelebihan dalam berbagai sisi. Bagi saya sendiri, perdebatan diplomatis dalam
buku ini mampu membuat pembaca terhipnotis. Konflik-konflik dalam bentuk verbal
mampu dirancang Paolini dengan baik sehingga merangsang kemampuan berpikir dan
kognitif pembacanya. Pemilihan bahasa yang tepat, baik ketika
perdebatan-perdebatan tersebut dan penuturan sejarah dalam buku ini mampu
menjauhkan pembaca dari kesan membosankan. Malah bagi saya sendiri, kemampuan
Paolini dalam menyampaikan konsep dalam suatu perdebatan merupakan hal yang
menarik bagi saya selain tutur kata yang menjabarkan pertempuran menegangkan.
Selain itu, kemampuan paolini dalam menyampaikan konsep dan kata-kata bijak tanpa
menggurui patut diancungi jempol. Salut buat pengarangnya!
Pada sudut pandang lain,
konflik-konflik politik yang dialami kaum varden dan kurcaci bisa saja dianggap
para pembaca lain sebagai sesuatu yang bertele-tele. Namun, itulah sisi
realistisnya sebuah cerita. Tokoh-tokoh di dalamnya tidak langsung digambarkan
sempurna dan bijaksana begitu saja sebagai pemimpin. Justru, konflik-konflik
bertele-tele tersebut malah membuat para tokohnya terkesan lebih humanis. Christopher
paolini dengan cerdik mampu menguatkan karakter-karakter di melalui konflik
tersebut. Lebih dari itu, kemampuan penyelesaian solusi dari konflik-konflik
tersebut benar-benar cerdas sehingga memancing penalaran pembacanya.
Namun begitu, buku ini bukan
tanpa kekurangan. Dalam hal ini, setidaknya terdapat dua kekurangan yang saya
dapati. Pertama, sama seperti buku pertamanya, buku ketiga ini seperti kembali
mengulang kembali kesalahan yang sama. Memang tidak separah buku pertamanya,
tapi Brisingr terkadang membuat bosan pembaca dengan definisi bertele-tele atas
kondisi tempat yang dikunjungi tokohnya. Padahal dalam buku ini banyak sekali
tempat yang dikunjungi oleh para tokoh utamanya. Terkadang saya terpaksa
melewati beberapa kalimat atau paragraf sesekali karena bosan. Kedua, terdapat
beberapa typo yang saya temukan. Kesalahan pengetikan juga terjadi ketika
seharusnya terdapat kalimat yang mesti digarismiringkan karena merupakan dialog
dalam benak tokohnya (aturan penulisan novel ini sendiri).
Terlepas dari kekurangannya, secara
keseluruhan, novel ini memiliki nilai yang sangat bagus. Untuk itu, saya
memberikan nilai 4,5 dari skala 5 untuk Brisingr. Salut sekali lagi buat Christopher Paolini.
Post a Comment for "Brisingr: Ketika Pertempuran Kolosal dan Intrik Politik Bersatu Dalam Novel Fantasi "