Bahasa, Sebagai Pemersatu Atau Pembinasa?
Bagi orang yang baru masuk ke suatu
tempat dengan bahasa daerah tersendiri, tentu saya ingin agar setiap orang yang
saya jumpai menggunakan bahasa Indonesia. Bukan karena sok kekota-kotaan, tapi
rasanya seperti orang bodoh jika semua orang tertawa tapi kita hanya melongos
tak mengerti. Atau ketika ingin mencoba akrab, kita tidak bisa masuk ke
pembicaraan warga setempat karena tidak mengerti bahasa yang digunakan.
Sedangkan jika ingin memulai pembicaraan, bahan pembicaraan pun tak punya
selain pertanyaan tentang adat istiadat dan budaya yang telah menjadi kebiasaan
sehari-hari serta tak menarik untuk dibicarakan bagi mereka. Maka jadilah saya
mahluk pendiam yang sesekali mencoba tertawa jika mereka terbahak.
Mungkin ini merupakan culture shock yang biasa dialami
pendatang di berbagai tempat. Oleh karenanya, saya tak ingin ambil pusing. Saya
pikir, sebulan di sini pasti saya bisa berbahasa Sambas dengan sendirinya. Lagipula,
jika saya sekarang jadi guru di Aceh dan datang guru SM3T dari daerah lain,
kemungkinan besar saya akan berlaku sama seperti guru-guru di sekolah ini. Mana
mau saya merubah bahasa keseharian saya hanya karena satu orang?
Rasanya terlalu egois jika hanya
karena saya mereka harus berbahasa Indonesia. Pasti akan ada kekakuan karena
itu bukan bahasa keseharian yang biasa digunakan mereka. Lagipula, bukan kah
memaksakan bahasa Indonesia di daerah-daerah akibat banyaknya pendatang
merupakan awal mula hilangnya bahasa setempat? Pertama-tama, satu orang
pendatang “memaksa” beberapa penduduk setempat untuk berbahasa Indonesia dengan
alasan persatuan. Lama-lama, pendatang makin banyak lalu makin banyak pula
penduduk setempat yang menggunakan bahasa Indonesia. Lalu interaksi pun lebih
dipenuhi dengan bahasa Indonesia dan muncul lah stigma bahwa bahasa Indonesia
itu lebih keren daripada bahasa daerah. Penayangan bahasa Indonesia dari
berbagai lini (televisi, radio, buku dan lain-lain) juga sedikit-sedikit menggerus
kepercayaan diri masyarakat daerah untuk menggunakan bahasa daerah. Akibatnya,
bahasa daerah akan hilang perlahan-perlahan. Jika sudah seperti ini, di mana
lagi “keren”nya Indonesia?
Maka saya hanya bisa berdoa agar
menjadi pribadi yang bisa belajar dari alam, menjadi pribadi yang tak mudah putus asa ketika alam mengajar
dengan caranya terkadang sedikit keras.
Post a Comment for "Bahasa, Sebagai Pemersatu Atau Pembinasa?"