Vonis Dan Rusaknya Sebuah Kehidupan
Sumber : dream.co.id |
“Jangan bertingkah kayak orang
gila! Kalau ada 40 orang bilang kamu gila, bisa-bisa kamu jadi gila betulan!” kata Ummi dengan nada tinggi di suatu sore tujuh tahun lalu. Ia marah dengan
sikap adik laki-lakinya yang bertingkah layaknya orang gila serta kerap
mengganggu keluarganya. Kalau dipikir-pikir, memang banyak orang sekampung yang
telah memberinya cap sebagai orang gila. Ketika mendengarnya, saya langsung
bertanya-tanya, apakah ada kaitan antara ucapan 40 orang dengan kemungkinan
membuat paman saya menjadi gila? Apakah ada pengaruh banyaknya makian orang
tentang satu hal dengan yakinnya seseorang tentang hal itu menempel pada
dirinya? Akankah banyaknya orang yang bilang paman saya gila bisa membuatnya
yakin bahwa dirinya benar-benar gila?
“Saya emang lonte!” jawab seorang
siswa pasrah. Pernyataan tersebut pernah terucap oleh seorang siswa sekitar
dua tahun yang lalu. Ia muak dengan segala bentuk cap gadis murahan dari orang
tua dan lingkungan sekitarnya. Benci telah menusuk dalam ke dadanya dan
membuatnya benar-benar berprilaku seperti penjaja seks. “Mereka bilang saya
lonte? Baiklah!” katanya murka. Maka jadilah ia benar-benar bersikap murahan
untuk membuat orang tuanya semakin marah.
Dua kasus di atas hanyalah contoh
bagaimana vonis mampu merusak hidup orang lain. Dalam hidup sebenarnya
sangat banyak vonis-vonis yang bertebaran dengan beragam bentuk. Entah itu berupa
makian yang merusak hidup atau pujian yang membangkitkan semangat. Vonis-vonis
tersebut seringkali merubah hidup seseorang. Vonis pintar yang sering terucap
di mulut seorang guru di sekolah mampu membuat siswa mengarungi hidup dengan
baik. Di lain sisi, vonis bodoh, bebal dan bandel tak jarang membuat siswa
meyakini bahwa bodoh merupakan sebuah gen yang tak bisa diubah. Efeknya, siswa
menjalani hidup dengan pesimisme yang luar biasa.
Seandainya kita mengetahui
akibatnya, tentu hanya vonis baik-baik saja yang terucap dalam bentuk pujian.
Namun sayangnya, vonis tak hanya yang baik saja. Vonis itu terlempar dalam
beragam rupa seperti makian, hukuman, cap atau pelabelan dan beragam hal
lainnya. Vonis-vonis bertebaran tanpa kita sadar dan dengan tanpa sadar juga merusak
diri maupun orang lain. Oleh karenanya, artikel ini akan membahas tentang
beragam bentuk vonis dalam keseharian kita. Beragam bentuk vonis ini hanyalah
bentuk pemikiran saya sendiri. Oleh karenanya, mohon pemakluan dan kritik kalau ada
kekurangan di berbagai sisi.
1. Vonis verbal
Vonis satu ini
merupakan yang paling mudah kita identifikasi. Jika seseorang senang, ia memuji
dengan memvonis baik, rajin, pintar dan lain-lain. Jika seseorang marah, ia memaki
dengan memvonis seseorang dengan sebutan pemalas, bodoh, jelek dan sebagainya. Vonis
ini biasanya juga sering digunakan orang dewasa ke dalam bentuk punishment and reward saat mendidik. Maka
beruntunglah bagi siswa yang mendapatkan reward
berupa vonis yang baik-baik. Akan tetapi, bagaimana nasibnya peserta didik
mendapatkan punishment dengan vonis-vonis verbal yang buruk? Seperti contoh di awal artikel tadi, bukankah jika vonis buruk itu
mendarat di telinga berulang-ulang maka akan membuat yang bersangkutan yakin
bahwa dirinya buruk.
2. Vonis perilaku
“Ketidakacuhan
dan pengabaian sering kali berakibat lebih buruk daripada ketidaksenangan yang
terus terang....,” begitulah kata tokoh Dumbledore dalam Novel Harry Potter And The Orde Of Phoenix. Hal ini menggambarkan bahwa kebencian dalam bentuk perilaku terkadang
berdampak lebih buruk dari kebencian secara verbal. Bahkan ada sebuah kutipan
menarik yang kira-kira berbunyi, “anak belajar dari teladan bukan dari apa yang
diucapkan orang dewasa”. Kedua kutipan itu menekankan bahwa seringkali perilaku memainkan peran cukup banyak dalam mempengaruhi orang lain.
Bahkan kita seringkali lebih peka atas apa yang diungkapkan bahasa tubuh
daripada bahasa mulut. Vonis-vonis dalam bentuk bahasa tubuh dan
perilaku inipun seringkali memberikan dampak yang sangat besar dibandingkan vonis secara verbal.
Seorang anak
akan merasa “dirinya tak berharga” jika orang tuanya bersikap seolah ia tak ada
di rumah. Vonis “tak percaya diri” akan melekat pada diri siswa karena tak
pernah mendapat pujian yang pantas atas prestasi-prestasi kecil yang dilakukan
dan selalu mendapat teguran berlebihan setiap kali ia melakukan kesalahan. Orang
yang menebar vonis ini ke orang di sekitarnya sering kali tak sadar apa yang
dia lakukan. Ia hanya bertindak berdasarkan kebiasaan. Tapi masalahnya, kita
bukan hewan yang bertindak berdasarkan insting seperti hewan bukan?
Mudah-mudahan tulisan ini membuat sebagian dari kita lebih peka. Karena ada kecenderungan,
jika seseorang dididik dengan salah oleh orang tua, maka sang anak akan
memiliki permasalahan dalam kepribadian yang kemudian juga akan mempengaruhi
anak yang akan didiknya kelak. Kalau tidak dihentikan, “penciptaan kepribadian
yang bermasalah” ini akan menular dari generasi ke generasi.
3. Vonis angka
Tentu pembaca akrab dengan yang namanya Rangking atau peringkat kelas. Dulu
bahkan mungkin kita sendiri yang pernah menduduki peringkat 10 besar di kelas.
Bagi kita yang selalu mendapatkan peringkat sepuluh besar, tentu berasa seperti
telah dijatuhi vonis pintar. Lalu bagaimana dengan siswa lain yang tidak pernah
mendapatkan peringkat 10 besar di kelas? Tentu saja mereka akan merasa berbeda
dan bodoh dibandingkan dengan teman-temannya yang mendapat peringkat kelas.
Bagi siswa yang tak mendapat rangking atau peringkat kelas di sekolah yang
hanya memberitahukan peringkat 5 atau 10 besar kelas mungkin sedikit beruntung.
Setidaknya, mereka tak sendiri, masih ada puluhan kawan lainnya yang tak
mendapatkan rangking. Tapi bagaimana dengan sekolah yang mengumumkan peringkat
kelas dari peringkat satu sampai terakhir, tergantung dengan jumlah siswa di
satu kelas? Bagaimana perasaan siswa yang mengetahui kalau dirinya menempati
posisi di peringkat 32 atau 33? Sistem yang sangat keji bukan?
Oleh sebabnya, sungguh patut diapresiasi bagi
sekolah-sekolah yang telah menghilangkan sistem peringkat kelas. Perlu
dipahami, hasil belajar siswa semestinya bukan digunakan sebagai ajang
kompetensi dengan siswa lain melainkan sebagai tolak ukur untuk memperbaiki apa
yang salah. Hasil belajar siswa semestinya hanya dikonsumsi oleh guru, siswa
dan orang tua siswa, bukan dipamerkan di depan umum.
4. Vonis semesta
Sebelumnya, sangat
susah untuk menentukan nama apa yang cocok untuk vonis ini. Maka anggaplah
sebagai “vonis semesta” karena yang menghujam vonis ini dengan kuatnya ke
pikiran kita bukanlah orang, melainkan sesuatu yang lain. Vonis yang satu ini
hanya dapat dilihat jika kita berpikir lebih mendalam. Vonis ini tak memekakkan
indra pendengaran atau tampak dengan hanya sekedar melihat. Biasanya, vonis ini
diakibatkan oleh tingkah laku diri sendiri tanpa kita sadar. Tidur seharian
tanpa melakukan apa-apa membuat semesta menanamkan ide bahwa diri ini merupakan
pribadi yang malas. Seseorang yag bekerja keras akan dengan sendirinya tervonis
sebagai orang yang rajin. Contoh lain misalnya, kebiasaan siswa mencontek tentu
disebabkan oleh beragam sebab seperti malas belajar, tidak menyukai pelajaran
yang diujiankan dan lain-lain. Namun yang mendasari siswa untuk mencontek
adalah anggapan bahwa dirinya tak mampu
mengerjakan soal yang diujikan. Bayangkan! Sekali mencontek, semesta akan
menekan ide ke kepala siswa yang mencontek bahwa dirinya tak mampu. Maka, seratus kali dia mencontek, ide bahwa dirinya tak mampu telah dihujam seratus
kali ke kepala siswa. Maka, secara tak sadar ia divonis tak mampu oleh prilakunya sendiri.
****
Vonis-vonis tersebut mungkin
secara tak sadar telah kita tanamkan ke kepala diri sendiri dan orang lain.
Oleh karenanya, semoga saja tulisan ini menambah wawasan pembaca untuk selalu
berhati-hati dalam bersikap setiap hari. Semoga bermanfaat!
Post a Comment for "Vonis Dan Rusaknya Sebuah Kehidupan"