Menghamba Manusia
Dalam hidup, ada banyak tingkatan di berbagai aspek. Ada bumi, ada langit. Ada muda, ada tua. Ada miskin, ada kaya. Ada cantik, ada buruk rupa. Ada pandai, ada bodoh.
Tingkatan itu membuat kita bertingkah
laku tak sama pada dua hal yang berbeda tingkatannya itu. Jika ia tua, tapi kurang ajar, kita akan memakinya. Akan timbul pernyataan-pernyataan semacam,
“Udah tua, tapi gak tau diri!”. Beda
halnya dengan yang muda, pemakluman masih mungkin bagi mereka yang minim pengalaman.
Cibiran tentu saja akan melayang
bagi mereka yang kaya harta tapi korupsi di mana-mana. Beda ceritanya dengan
pencuri miskin tak berdaya, memaafkan akan lebih mudah jika dibumbui cerita akan
anak keluarga yang menangis meminta makan dua hari lamanya.
Bagi yang cantik nan rupawan, jika
saja mereka tak sepintar yang kita bayangkan, akan ada bisik-bisik di belakang
si cantik, “Rugi cantik! Isi kepalanya kosong!”. Tak sama halnya dengan wanita
yang berwajah biasa-biasa saja atau buruk rupa, kita tak menghiraukan, karena
kita beranggapan level rendah isi kepalanya sejajar dengan tampilan luarnya.
Untuk mereka yang pandai tapi
suka menipu, akan keluar kalimat penyesalan seperti, “Buat apalah pintar jika
hanya untuk menipu orang!” Kita tentu tak akan menyesal terlalu berlebih jika
orang bodoh yang menipu. “Memang begitu perilaku orang yang tak banyak ilmu”, begitu
kiranya kita memaklumi
Kita lebih menuntut pada
manusia-manusia “level atas” dan tak berharap banyak pada mereka yang kita
tempatkan di “level lebih rendah”. Kita tak lagi memandang mereka-mereka yang beruntung menempati posisi "level atas" sebagai manusia. Kita menuntut mereka sempurna, tak boleh salah. Efeknya, kita seperti menghamba pada
manusia. Berharap banyak pada mereka. Akibatnya, sakit hati dan kecewa tak lagi
terelakkan. Tak sedikit orang yang tak ingin lagi pulang ke rumah karena menuntut
orang tua yang sempurna. Banyak orang yang berwajah biasa kandas cinta karena
berekspektasi terlalu banyak pada si pemilik wajah tak bercela. Jutaan si miskin yang membenci si kaya karena pemilik uang berlebih itu tak bisa adil pada semua. Padahal,
mereka hanya manusia.
Lantas, kenapa tak kita berharap
saja pada Dia yang patut dihamba?
Jawabannya, karena kita tidak pernah menghadirkan Dia dalam tiap denyut nadi kita
ReplyDeleteSetuju aula :)
Delete"kandas cinta"... hohoho
ReplyDelete