Bangga Berbuat Jahat
www.hellodoctor.co.za |
“Aku, kalau orang baik sama aku, aku akan lebih baik lagi sama dia. Tapi kalau ada orang yang berbuat JAHAT, aku akan lebih JAHAT lagi sama dia”.
Akrab dengan pernyataan di atas?
Pernahkah pembaca mendengarnya di sela-sela curhat sahabat atau orang terdekat?
Umumnya kalimat itu diucap ketika mereka sedang kesal akan tingkah satu atau
beberapa orang. Di satu sisi, teman bicara tadi menekankan bahwa sebenarnya Ia
orang yang baik, tapi jangan macam-macam, kalau diganggu saya bisa lebih kejam
dari yang mengganggu.
Kebanggaan dan kemarahan seolah
menjadi satu di kalimat pembukaan di atas. Bangga diri ini baik, namun
sayangnya, marah karena meskipun diri ini baik, masih ada saja yang berbuat
jahat.
Normalkan pernyataan di atas?
Kalau kita memandang manusia sebagai pribadi yang kompleks, bisa benar-bisa
salah, tentu kita akan memandangnya sebagai suatu hal yang normal. Tapi
seandainya kita berpikir jauh, banyak hal yang bisa dikiritik dari pernyataan
di atas.
Toh walaupun dunia mencerca, tetap
saja masing-masing dari kita memiliki alasan sendiri dalam melakukan suatu hal.
Alasan untuk berbuat jahat kepada seseorang seolah dibenarkan karena orang lain yang lebih dulu berbuat jahat, sehingga perlu dibalas. Ini salah satu ciri khas
untuk menghindari kecemasan yang disebut sistem pertahanan ego. Dalam kasus
ini, sistem pertahanan ego digunakan untuk mencegah seseorang untuk merasa
bersalah telah berbuat jahat pada seseorang. Mencegah seseorang untuk merasa
cemas karena dia sebenarnya tak mampu mengendalikan emosinya sehingga
menciptakan atau membayangkan beragam alasan untuk menyalurkan emosi negatifnya
itu.
Sistem pertahanan ego itu membuat
kita merasa berbeda dibandingkan dengan orang-orang yang penuh emosi negatif di
sinetron malam atau ibu-ibu pemarah di lingkungan kompleks perumahan. “Saya
beda, saya berbuat itu karena orang lebih dulu menyakiti hati saya,” begitu
kira-kira pikiran orang yang menganut pandangan hidup ini.
Setidaknya, ada dua sebab
sebagian dari kita memiliki pandangan hidup seperti ini. Sebuah pandangan hidup
yang membuat kita menjadi pendendam dan tak bisa memaafkan.
Pertama, berpikiran sempit. Ciri
khas berpikiran sempit ini adalah alur logika hitam putih. Kalau tak surga, ya
neraka. Kalau tidak baik, ya jahat. Sesimpel itu. Seseorang harus menempati
posisi optimal dalam suatu hal. Kalau jahat, pasti 100% jahat. Kalau baik,
pasti 100% baik.
Pernyataan di awal artikel tadi
menjelaskan bahwa orang yang mengeluarkan pernyataan ini menempatkan diri
sebagai orang baik. Akibatnya, orang yang menyakiti dirinya dianggap sebagai orang
jahat. Padahal, kalau kita lebih jeli sedikit saja, orang terjahat pun
melakukan perbuatan jahatnya karena banyak hal, entah itu sakit hati karena
masa lalu maupun masa kini. Banyak pelaku pencabulan anak merupakan orang yang
lebih dulu dicabuli oleh orang dewasa di masa lalunya. Banyak orang dengan
emosi negatif merupakan hasil didikan dari pengabaian atau kekerasan oleh orang
tua bertahun-tahun di masa lampau. Apa yang penulis disampaikan di sini bukan bermaksud
untuk mempengaruhi pembaca untuk memaklumi beragam perilaku negatif yang
dilakukan oleh orang lain, yang salah tetap salah, tentu saja. Hanya saja,
dengan mengetahui hal ini, kita bisa lebih memaafkan atau mencegah orang
terdekat untuk melakukan perilaku yang sama.
Alasan kedua, Egois. Pernyataan
di awal artikel dengan gamblangnya menekankan pada keyakinan orang yang membuat
pernyataan banwa dirinya memang benar-benar orang baik. Efek emosi marah pada
orang lain yang tengah dirasa membuat orang yang mengeluarkan pernyataan itu
memasukkan unsur emosi lebih dalam sehingga keyakinan bahwa diri sendiri adalah
orang yang baik tak terbantahkan lagi. Ketika keyakinan itu sudah tertanam
mendalam di pikiran, maka keinginan untuk intropeksi diri menjadi hilang
sepenuhnya. “Buat apa saya menilai diri sendiri lagi? Saya memang baik kok,
mustahil saya yang salah”, mungkin itu yang akan terucap apabila alam bawah
sadar bisa berbicara. Akibatnya, muncullah perilaku menyalahkan orang lain
sepenuhnya dengan menutup mata akan kemungkinan diri sendiri yang berbuat
salah.
Pernyataan di awal artikel dengan
penekanan emosi saat berbicara menggambarkan “kebanggaan” untuk membalas
dendam. Toh yang mengucapkannya berbicara dengan nada meyakinkan dan penuh
emosi bukan? Ketika kita bangga melakukan balas dendam, maka di saat itu hati
nurani menjadi tertutup perlahan-lahan. Pada satu momen tertentu dalam hidup,
kita akan menjadi pribadi yang memiliki banyak masalah dengan orang lain, namun
selalu tak mampu menanganinya, karena kita hanya berfokus ke kesalahan orang
bukan kepada kekurangan diri sendiri.
Lagipula, tak memiliki masalah
dengan orang lain merupakan suatu hal yang tak mungkin. Kita tak mungkin
menyenangkan semua orang. Masalahnya, jika kita selalu menjadikan pandangan
hidup di atas sebagai acuan ketika memiliki masalah dengan orang lain, kita
akan memiliki hidup yang tak tentram dan memiliki masalah serta dendam lama di
sana-sini.
Mari belajar untuk menjadi tak
keras kepala ...
Post a Comment for "Bangga Berbuat Jahat"