Kenapa Malas ke Guru BK?
Pernahkah pembaca mendengar
antonim berpasangan seperti Jiwa-Raga, Fisik-Psikis, dan Jasmani-Ronani?
Seberapa besarkah pembaca merawat dan memperdulikan Jiwa-Raga? Apakah adil
kepedulian yang diberikan kepada fisik dan psikis masing-masing? Kalau boleh
menjawab, mungkin kita sering tak berlaku adil pada keduanya. Kita sering
mengutamakan fisik, mulai dari tampilan luar sampai tingkat kesehatannya.
Buktinya, jika sakit perut, kebanyakan pembaca pasti langsung bereaksi dengan
membeli obat sakit perut atau bahkan berkunjung ke dokter. Itu hanya level
sakit perut, tak perlu lah dibahas lagi bagaimana cepatnya respon kita jika
penyakit fisik yang diderita sudah level tinggi.
Umumnya, kita hanya peduli dengan
kesehatan fisik/raga/jasmani dengan menomerduakan “kesehatan”
psikis/jiwa/rohani. Padahal kalau diperhatikan lebih jauh, keduanya memiliki
efek yang sama pada level tertentu. Misalnya, seorang pelajar yang sedang sakit
perut bisa tidak konsentrasi belajar jika dipaksa. Itu pada aspek fisik, pada
aspek psikis, siswa yang bermasalah dengan orang tuanya dapat terganggu fokus
belajarnya karena imbas suasana hati yang tak baik. Contoh di atas hanya level
efek rendah dari gangguan “kesehatan” baik pada aspek psikis maupun fisik. Pada
level yang lebih tinggi, efeknya bahkan bisa menyebabkan kematian. Misalnya,
seseorang yang menderita penyakit kanker, jika tak diobati akan menyebabkan
kematian bagi penderitanya. Nah, masalah “psikis” lebih jauh juga bisa
menyebabkan kematian bagi penderitanya. Bedanya, kuantitas masalahnya tak bisa
diukur dengan ilmu pasti. Contoh, putus cinta bagi satu orang mungkin hanya
membuatnya gundah gulana dua hari tiga hari, namun bagi orang lain, putus cinta
bisa membuatnya memilih untuk bunuh diri. Lucu memang, tapi itulah kompleksnya
masalah psikis.
Ketimpangan keperdulian antara
masalah fisik dan psikis ini umumnya berlaku pada semua orang dari berbagai
usia. Seorang kakek lebih sering pergi ke dokter untuk mengatasi masalah
diabetes yang dialaminya dibandingkan pergi ke psikolog untuk membincangkan
kesedihannya akibat kesepian ditinggal anaknya di usia senja. Seorang suami
lebih memilih pergi konsultasi ke dokter untuk mendapatkan obat tidur daripada
berkonsultasi dengan konselor untuk membincangkan masalahnya dengan sang istri
yang seringkali membuatnya susah tidur. Pada tingkatan usia sekolah, seorang
pelajar lebih memilih mengganggap dirinya lemah secara fisik dan pergi ke
dokter daripada menemui guru BK untuk mendiskusikan masalah yang tak lagi
sanggup dipikirnya.
Penyelesaian masalah psikis tentu
saja penting bagi setiap orang tanpa memandang usianya. Tapi tentu saja ada
usia-usia tertentu yang taraf kepentingannya lebih tinggi dibandingkan tingkat
usia lainnya. Dalam hal ini, remaja merupakan tahap usia yang taraf kepentingan
dalam penyelesaiannya lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena remaja merupakan tingkat
usia yang dikenal sebagai usia yang bermasalah, labil dan sebagainya. Jika tak
diselesaikan secepatnya, masalah tersebut akan berpengaruh ketika ia dewasa karena
remaja merupakan usia belajar dan pencarian jati diri. Penyelesaian masalah
yang salah akan menjadi pola penyelesaian masalah yang dianut remaja hingga ia
berusia dewasa. Namun sayangnya, pelaksanaan layanan BK disekolah justru banyak
yang tak termanfaatkan dengan baik oleh siswa?
Pertanyaan selanjutnya, jika
memang masalah fisik dan psikis mampu memberikan efek yang sama lalu mengapa para
pelajar masih enggan pergi ke guru BK?
Untuk menjawabnya tentu
memerlukan penelaahan yang lebih mendalam. Namun secara sekilas, permasalahan
fisik memang lebih mudah dilihat karena akan cepat dirasakan jika terjadi
masalah. Sedangkan masalah psikis justru sering tak disadari oleh para siswa. Sebab
lain mungkin masih dikarenakan oleh pemahaman yang salah tentang layanan BK oleh
siswa. Oleh karenanya, berikut adalah beberapa penjelasan tentang layanan BK yang
bisa membuat pembaca (utamanya usia pelajar) menjadi lebih tertarik untuk
menemui guru BK. Untuk memahami lebih lanjut kenapa terjadi ketimpangan pada
siswa dalam menangani masalah fisik dan psikisnya, penulis akan menjabarkannya
dengan membandingkan pelaksanaan layanan K di sekolah dengan pemberian layanan
medis oleh pekerja profesional.
1. Mengobati
VS Mencari Solusi Bersama
Sudah menjadi
ketentuan umum bahwa mendapatkan pengobatan merupakan tujuan utama seseorang
untuk ke rumah sakit. Meskipun komunikasi antara pasien dan dokter merupakan
satu hal yang menentukan proses pengobatan, komunikasi masih bisa
dikesampingkan dalam proses pengobatan di rumah sakit. Masih ada alat-alat
teknologi yang mampu mendiagnosis penyakit pasien tanpa perlu konsultasi dengan
dokter. Dalam pelayanan medis, kinerja dokter lebih penting untuk diperhatikan
dibandingkan kesediaan pasien dalam melaksanakan proses pengobatan.
Berbeda dengan
aktifitas medis seperti yang telah dijelaskan di atas, keterlibatan aktif
konseli (klien) dalam layanan BK sangatlah penting. Melalui komunikasi terbuka
oleh klien/konseli, seorang konselor dapat menemukan data-data penting untuk
membantu konseli. Selain itu, peran aktif konseli dibutuhkan dalam bekerja sama
dengan konselor untuk mencari solusi yang tepat. Namun sayangnya, pelaksanaan
konseling selama ini lebih sering menonjolkan keaktifan guru BK dibandingkan
konseli sendiri. Guru BK menjadi tukang ceramah yang mengarahkan peserta didik
untuk mengambil pilihan A dan B. Dalam hal ini, subjektifitas guru BK sangatlah
besar karena malas mendengar dan cenderung menasehati berdasarkan ide dan
pengalaman pribadi yang seringkali sangat berbeda dengan kebutuhan konseli.
Jika sudah seperti ini, adakah siswa yang sukarela datang ke guru BK jika dia
mengetahui bahwa nantinya dia akan diceramahi dan sedikit diberikan kesempatan
berbicara?
2. Ketika
vonis berbuah sinis
Setelah proses
diagnosis, pekerja medis perlu menentukan dengan tepat tentang penyakit apa
yang diderita pasien dan bagaimana tingkat keparahannya. “Vonis” penyakit oleh
dokter merupakan satu hal yang penting karena menyangkut hidup dan matinya
orang lain. Tak boleh ada kesalahan sedikitpun. Oleh karenanya, vonis memvonis
merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dalam pelayanan medis dan pasien berhak
tau akan penyakit yang dideritanya.
Nah, dalam
pelaksanaan layanan BK, “vonis” juga merupakan hal yang penting setelah proses
diagnosis. Tanpa adanya “vonis” tentang apa sebenarnya yang dialami oleh
konseli, rencana layanan BK tak dapat disusun dengan baik. Hanya saja, penamaan
vonis pada layanan BK dirasakan kurang tepat. Penggunaan kata vonis cenderung merujuk pada fakta pasti
layaknya penyakit dan tindakan kriminal. Sedangkan kenyataannya, masalah psikis
dan perilaku terkadang sulit untuk dipastikan 100%. Oleh karenanya, kalimat pengambilan kesimpulan semetara lebih
terasa cocok dibandingkan kata vonis. Selain itu, kata vonis juga cenderung mengarah ke pada pelebelan siswa seperti baik,
jahat, nakal, malas dan lain-lain.
Vonis yang sering
terjadi di lapangan pun bukan dilakukan pada tempatnya. Pertama, vonis diberikan bukan melalui proses diagnosa yang
dilakukan dengan cara yang benar. Banyak guru Bk yang mendasarkan vonisnya
bersadarkan pada apa yang tampak. Jika ada siswa yang berkelahi, vonis bandel
langsung tersemat ke siswa yang bersangkutan. Jika siswa tidak membuat PR,
vonis malas menjadi sesuatu yang biasa diberikan. Padahal, “vonis” tidak bisa
serta merta diberikan hanya pada gejala yang tampak, melainkan dengan wawancara
mendalam atau dengan alat instrumen tertentu. Kedua, pemberian vonis menyebabkan guru BK tidak lagi objektif.
Vonis-vonis salah seperti bandel, nakal, malas dan lain-lain seperti yang telah
disebutkan di atas sering membuat perubahan sikap guru BK terhadap siswa yang
bermasalah. Bukan suatu hal yang jarang terjadi jika vonis semacam tadi
menyebabkan penerimaan guru BK terhadap siswa tidak dilakukan dengan
semestinya. Dengan beragam vonis negatif itu, guru BK tidak lagi menerima siswa
apa adanya. Akan ada kerutan di kening guru BK ketika anggapan aneh pada siswa
melekat. Wajah muram dan sangar menjadi penyambut siswa di ruang BK ketika
anggapan negatif memenuhi tempurung guru BK. Bahkan, kesinisan akan keberhasilan
layanan konseling bisa muncul pada guru BK sendiri ketika siswa yang divonis
super nakal datang ke guru BK. Lalu, akankah siswa bersenang hati ke ruang BK
ketika ia tahu wajah bermuram durja tengah menunggunya?
3. Rahasia
VS Ember?
Pelayanan medis
sangatlah menjaga privasi para pasiennya. Oleh karenanya, pasien merasa nyaman
dalam mengemukakan beragam kesehatan yang dialami. Tanpa penyimpanan rahasia
pasien dengan baik, maka sudah tentu pelayanan kesehatan tak berjalan optimal. Bahkan
karena tingkat kerahasiaan yang terjamin ini, bukan suatu hal yang aneh jika dokter masalah
hubungan seksual dan kelamin pun menjadi salah satu petugas medis yang paling banyak
merawat pasien.
Dalam pelayanan
BK, hal seperti di atas tidak berjalan dengan baik. Bahkan, kerahasiaan yang
menjadi kunci utama dalam pelaksanaan layanan menjadi semacam angin lalu yang
tak dihiraukan. Tempat pelaksanaan layanan misalnya, seringkali akibat keterbatasan
sarana dan prasarana, siswa terpaksa “diinterogasi” di tempat keramaian sekolah
seperti di bawah tatapan siswa lain di ruang perpustakaan dan di ruang guru
dengan sesekali guru lain ikut-ikutan memberi “konseling”. Lalu bagaimana siswa
bisa percaya bahwa guru BK akan menjaga rahasianya jika tempat pelaksanaan
layanannya saja membuat siswa tak berani bicara terbuka?
****
Sebagai penutup, layanan
konseling pada dasarnya memang sama penting dengan ragam jenis pelayanan jasa
yang lain, termasuk pelayanan jasa kesehatan. Tentu menjadi suatu yang aneh
ketika layanan jasa lain menjadi primadona bagi publik sedangkan layanan jasa
konseling tidak. Tugas kita adalah mengintropeksi diri dan semoga artikel
singkat ini menjadi bahan pertimbangan dalam menilai pelayanan konseling yang
selama ini kita lakukan.
Sambas,
1 Oktober 2016. 08:08 AM
Tulisan ini
diberikan dalam layanan informasi Bimbingan dan Konseling
Post a Comment for "Kenapa Malas ke Guru BK?"