Suatu Sore Di Pantai Batu Burung Dan Teluk Mak Jantu
Novel Harry Potter yang ke 5 itu
tengah asyik-asiknya berkisah ketika SMS itu masuk. “Bal, Sore apa kegiatan?
Jalan Yuk!” begitulah bunyi pesan singkat salah satu guru tempat saya bertugas.
Sesaat setelah membaca, enggan pun menjalar tubuh. Bukan malas tanpa sebab,
hanya saja, panas-panas seperti ini membuat aktifitas membalikkan halaman novel
fantasi di ruang sejuk seperti ini menjadi pilihan fantastis dibandingkan
berpolusi dan berpanas ria di perjalanan. SMS itu pun tak saya balas.
“Pura-pura tidur sajalah”, pikir saya di hati sambil kembali melirik kata-kata
di atas kertas.
Dan 15 menit kemudian, tanpa di
duga-duga, Pak Guru berkaca mata itu langsung datang ke sekolah tempat saya
tinggal tanpa merasa perlu menunggu balasan SMS saya. “Kok gak di bales SMS
Saya?” tanyanya.
“Eh, Bapak ada kirim SMS?” tanya
ku pura-pura bodoh sambil meraih HP yang terletak agak jauh. “Sory, gak
kedengaran Pak. Ter-silent HP-nya”.
Lalu ada sedikit aktifitas ajak
mengajak dari Bapak berbadan tambun itu dan bahasa tolak menolak yang enggan
dari saya yang berbadan tak kalah tambunnya. Sampai akhirnya saya mengalah dan
berkata, “Ok, tunggu bentar Pak. Saya mandi dulu”.
15 menit kemudian, tepat pukul
14:15 WIB kami pun berangkat dengan tujuan sebuah pantai di Singkawang,
Kalimantan Barat. Suasana hati cukup terganggu karena si Bapak guru kurang peka
akan rasa saya yang lebih tergugah untuk menikmati kata demi kata. Kecewa pun
semakin membukit saat jalan yang kami lalui busuknya bukan main. Bahkan besi
rem kaki sepeda motor pun patah akibat sering terbentur batu-batu jalan yang
menonjol tak rata. “Kenapa kita gak lewat jalan kecamatan Semparuk aja pak? Kan
lebih bagus jalan di situ”, tanya saya setelah melewati jalan jelek yang seolah
tanpa akhir.
“Jalan di Semparuk emang bagus
Pak, tapi ini jalan motong ke Singkawang, lebih deket. Kalau lewat Semparuk
mutar jauh. Bentar lagi juga mau bagus lagi jalannya”. Dan benar saja, setelah
setengah jam perjalanan tanpa akhir di jalan yang membuat kami berjoget ria, jalan
mulus membuat laju motor seperti terbang tanpa lonjakan.
Di sepanjang perjalanan, kami
disuguhkan pemandangan sawah dan sesekali bukit kecil yang memaksa muncul dari
permukaan. Di sela-sela berisiknya suara knalpot motor, sangat mudah menemukan
pemandangan foto ikonik pedesaan yang menampilkan anak-anak berenang di sungai.
Tidak aneh memang, karena Kabupaten Sambas tempat kami tinggal setahun
mendatang merupakan daerah yang terpotong sungai di mana-mana.
Seperti berusaha tampil kontras
dan kompak bersamaan, semakin jauh kami mamacu kendaraan, jalan aspal yang kami
lewati seakan berusaha tampil semulus mungkin, sedangkan tepat di sebelahnya,
mengular sungai yang semakin kotor secara bersamaan. Di lain sisi, kicau
burung, tawa anak-anak dan gemiricik air sungai seolah berkelahi dengan raungan
kendaraan bermotor tanda kemajuan zaman. Dalam hati saya bertanya, butuh sampai
setebal apakah segala gas dan kotoran pekat memenuhi udara dan sungai sehingga
kita sadar bahwa sungai tak lagi ber-ikan dan hutan tak lagi berpohon?
Perjalanan ke Singkawang dari
tempat saya bertugas di Kec. Salatiga memakan waktu kurang lebih satu jam
setengah. Dan setelah pemandangan sawah di kanan kiri jalan menghilang, deretan
toko pun semakin banyak menjalar sebagai tanda kami sudah sampai Kota
Singkawang. Saya pun terngiang ucapan salah satu guru, “Dulu Pak, kota Singkawang
itu dikenal sebagai Kota Islami, tapi sekarang, dikenal sebagai Kota Amoy”. Benar
saja, sungguh tak sulit kita menemukan Amoy (Gadis Muda Cina) yang cantik dan
seksi luar biasa di kota yang dulunya bagian dari Kabupaten Sambas ini. Tak
mengherankan, karena dari dulu etnis keturunan Cina memang dikenal sebagi
penguasa bisnis dan perdagangan di berbagai daerah di Kalimantan. Dan umumnya
mereka tinggal di daerah perkotaan yang merupakan sentral perdagangan. Setelah
berburu buku yang tak kami temukan di kota, knalpot motor pun kembali
menghembuskan asam hitam ke tujuan utama.
Kami pun melaju keluar Kota
singkawang. Sekitar 10 menit dari kota, sepeda motor yang kami tunggangi membelok
arah ke pemukiman warga. Karena Jam digital di HP telah menunjukkan pukul 16:30
WIB, sepeda motor kami parkirkan sesaat di depan sebuah mesjid untuk menunaikan
kewajiban sebelum melanjutkan kembali perjalanan. Setelah tancap gas lagi, di
tepi jalan sesekali terdengar deru ombak yang sudah mulai bernyanyi dengan
memamerkan ribuan kilauan air dari Laut Cina Selatan. Tak lama kemudian, sebuah
famplet di tepi jalan menandakan bahwa kami telah sampai ke tempat tujuan.
Saya pun membelok kendaraan ke
kanan melewati jalan kecil yang baru di bangun. Lalu, hamparan laut luas dengan
bebatuan yang melawan untuk tenggelam menyambut kami dengan indahnya. Tepat searah
dengan jalan masuk, terdapat batu besar di tengah laut yang telah dihubungkan
jembatan bersemen. Dengan batu-batu yang lebih kecil dipinggirnya, batu super
besar yang dinamai Batu Burung itu
seolah raja yang dikelilingi rakyatnya.
Karena jauhnya, raja batu itu
terlihat bagai kerikil. Maka tak perlu menunggu instruksi lebih lanjut dari
teman seperjalanan, saya pun melenggok menuju batu yang pasti sungguh berat
itu.
Setiap langkah memancing nuansa
romantis karena indahnya alam. Tapi sayang, teman yang berjalan di samping bukanlah
gadis cantik bertampang lumayan, melainkan lelaki yang berkali-kali memaksa di
bilang tampan. Di tengah romantisme suasana, lewat dua gadis cantik menaiki
sampan sambil cekikikan tepat di sebelah jembatan. “Kita mau sewa sampan gak?
Cuma 30 ribu-an sekali sewa”, tanya Bapak yang mengajar pelajaran kesenian itu.
Melihat dua gadis yang berusia
sekitar 16 sampai 20 tahun itu mengayuh sampan berlatar batu cantik dan samudra
luas, siapa yang tidak kepingin? Namun, keinginan itu urung setelah melihat
angka yang tertera di Smartphone.
“Mau banget Pak, tapi bentar lagi mau magrib, kepalang tanggung!”
Setelah juga melirik ke barang
elektroniknya, matanya menatap air laut di sampingnya berdiri beberapa saat.
“Iya juga, ya udah, kita ke Batu Burung
dulu!”
Beberapa saat kemudian, langkah
kaki akhirnya menapak batu besar itu. Pemandangan di sekitar Batu Burung dilukis
dengan ragam warna. Mulai dari pancaran cahaya putih yang memantul dari
pantulan bola cahaya yang super besar di air laut, kuning terang yang memancar
di sekitar matahari yang mulai beranjak terbenam, biru gelap dari gunung yang
menjulang, sampai biru muda yang menghampar tak berbatas pada langit berawan
tipis dan laut yang berujung di horizon.
Beberapa saat, kami menikmati
suasana sambil duduk di atas big stone
itu. Di sekeliling, banyak aktifitas yang dilakukan pengunjung mulai dari yang
hanya duduk dan ngobrol dengan keluarga dan pasangan masing-masing, memancing
dan bahkan melamun sendiri menikmati lukisan maha indah di depan matanya. Cuaca
cerah yang mulai temaram akibat turunnya matahari membuat suasana tenang yang
tak bisa dijabarkan.
“Itu pulau apa Pak?” tanya saya
ketika melihat pulau kecil di kejauhan.
“Enggak tau nama pulaunya apa.
Tapi beberapa bulan lalu Pulau itu pernah masuk di Acara On The Spot sebagai
salah satu pulau terkecil. Pergi ke sana kita?”
Berhubung sudah mulai agak gelap,
saya pun sedikit ragu. Namun karena saya pikir belum tentu lagi bisa ke tempat
ini lagi dan masih ada waktu sekitar 35 menit lagi sebelum magrib, maka saya
pun berucap, “Ayo Pak!”
Meski jaraknya bisa dicapai
dengan jalan kaki, namun sulit untuk mencapai pulau itu karena mesti melalui
kebun warga. Alhasil, ban sepeda motor kembali berputar sebentar. Sesaat
kemudian kami sampai di lahan parkir. Suasana sepi luar biasa karena sudah
terlalu sore dan inipun hari senin sehingga jarang ada pengunjung. “Masuk
duluan aja, saya cari jalan masuk motor ke dalam, gak yakin simpen motor di
sini”.
Kaki saya pun melangkah ke
pepohonan rindang sebelum mencapai bibir pantai. Jujur, ada perasaan takut dan merinding
melewati tempat sepi seperti itu di waktu menjelang magrib. Yah, mungkin ini
juga tak lepas dari pengaruh cerita-cerita mistis yang sering saya dengar
ketika sampai di Borneo.
Dan DEG, rasanya jantung ini sempat ingin meledak ketika melihat suatu
bentuk aneh seperti manusia merangkak di bawah dahan-dahan pohon. Saya
betul-betul tak berani mengalihkan mata ke tempat lain, takut mahluk itu
langsung berlari menerkam tiba-tiba. Saya pun membatu beberapa saat. Dan setelah
menyadari mahluk apa itu, maki pun mengalir dari mulut. Ternyata hanya patung
seekor monyet yang menghiasi pantai.
Seiring tapak yang semakin
mendekat ke bibir pantai, ternyata semakin banyak pula ragam patung binatang
yang menghiasi. Mulai dari monyet, kerbau, kelinci, sampai anjing dan babi pun
ada. Maklum saja, karena berdasarkan dekorasi tempatnya, sepertinya pengelola
pantai adalah keturunan tionghoa.
Sambil menunggu teman
seperjalanan memarkirkan kendaraannya, saya pun celingak celinguk di tempat
yang mulai miskin cahaya ini. Banyak juga baebatuan di pantai ini. Di kejauhan,
tak sampai berjarak 500 meter, terhidang penampakan pulau kecil dengan
bebatuan-bebatuan di sekitaran bibir pantainya. Mendengar langkah kaki berjalan
di belakang, saya pun langsung bertanya tampa menengok, “Pak, kita ke pulau itu
Yuk!”
“Dulu bisa, sekarang gak bisa
lagi. Jembatannya udah rusak, tuh liat!” sambil menunjuk rangka jembatan yang
putus di tengah di kejauhan.
Seandainya jembatan itu masih
bagus, kami akan berangkat ke sisi bibir pantai lain untuk menuju pulau itu. Sedikit kecewa, kami pun duduk santai di
deretan kurisi yang berjejer rapi. “Pantai ini namanya apa Pak?”
“Enggak tau Pak, tapi orang di
sekitar sini nyebutnya Teluk Mak Jantu”.
Setelah diamati beberapa saat,
pantai ini dan pantai Batu Burung memang gabungan bibir pantai yang masuk
melengkung ke daratan. Di tepi pantainya, banyak pegunungan yang menjulang
tinggi seolah berusaha menjaga keindahan di depannya.
Setelah sesaat mengobrol membahas
banyak hal, suara azan samar-samar mulai terdengar di kejauhan. Rasanya berat
meninggalkan pemandangan eksotis di bibir pantai di ujung borneo ini. Saya pun
beranjak, berangkat pulang kembali ke tempat saya bertugas 11 bulan mendatang.
Sambas, 6 Oktober 2016. 08:27 AM
Post a Comment for "Suatu Sore Di Pantai Batu Burung Dan Teluk Mak Jantu"