Laki-laki dan bunuh diri
Beberapa waktu lau, netizen
indonesia dihebohkan oleh kasus bunuh diri secara live di Facebook. Seorang
pria menggantung lehernya di ribuan pasang mata netizen karena alasan
ditinggalkan oleh istri tercita. Yang paling mengherankan adalah, meskipun
banyak orang yang menonton, tidak ada satu pun kerabat terdekat si pria yang
mendatangi rumah tempat pelaku melakukan bunuh diri. Padahal, bunuh diri itu
tidak langsung dilakukannya. Ia sempat berbicara dan curhat, pasti cukup waktu
bagi orang terdekat merapat. Sayangnya, bahkan polisi pun sampai di tempat
kejadian perkara, 4 jam setelah si pria merenggang nyawa.
Pertanyaannya, ada apa antara
laki-laki dan bunuh diri? Kenapa asumsi laki-laki
itu kuat sering tak berjalan sama dengan kenyataannya? Bahkan data
menunjukkan bahwa laki-laki yang bunuh diri tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan
kaum hawa yang memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri.
Ada banyak faktor yang
menyebabkan tingginya angka bunuh diri pada pria. Salah satunya adalah banyak
laki-laki yang tidak mampu atau malas mengungkapkan perasaanya kepada orang
lain. Berbeda dengan wanita, laki-laki lebih memilih memendam perasaannya. Nilai
sosial di masyarakat menuntut pria untuk tampil gagah dan kuat membuat lelaki
yang menangis dan mengeluh dianggap lemah. Akibatnya lelaki tak terlatih untuk
menyalurkan perasaannya dengan cara yang benar. Daripada dianggap lemah,
laki-laki cenderung memilih diam. Oleh karenanya, kabar bunuh diri merupakan
sesuatu yang mengagetkan dan tanpa alasan bagi orang terdekat, seperti kasus
bunuh diri Chester Bennington, vokalis Linkin Park. Tak ada satu pun kerabat
yang menyangka-nyangka bahwa sang vokalis akan melakukan bunuh diri. Semua itu
dipendam sendiri dan pada saatnya, beban hidup membuat penghilangan nyawa
sebagai solusi utama.
Nilai sosial yang menempatkan
bahwa laki-laki sebagai makhluk kuat dan wanita sebagai makhluk lemah
mempengaruhi kepedulian kita. Kita cenderung menyepelekan sedikit banyaknya
ekspresi sedih yang tampak di wajah kerabat laki-laki dengan pemikiran seperti:
“Alah, masalah kecil doang, dia pasti bisa ngatasin sendiri” ; “Ih, cengeng bener
jadi laki-laki” ; “Mungkin masalahnya gak terlalu besar” dan lain-lain. Kita
cenderung berpikir, seharusnya laki-laki mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Beda
halnya dengan kesedihan yang tampak di wajah wanita, kita cenderung reaktif
untuk memberikan kepedulian karena anggpan bahwa “wanita itu makhluk lemah”.
Laki-laki dikesankan sebagai
pendengar yang baik. Biar perempuan saja yang berbicara. Asumsi ini agak
mengusik hati saya beberapa saat ini. Sebagai pengguna facebook, saya selalu
diingatkan hampir setiap harinya tentang status-status yang saya buat
bertahun-tahun lalu. Melihat status-status itu, saya menyadari satu hal, saya
lebih bebas menulis curhatan hati di masa lalu daripada sekarang. Ternyata,
saya se-verbal itu dulu. Ternyata bertambahnya umur mempengaruhi kebebasan dalam
mengekspresikan isi hati. Di masa kini, rasanya agak aneh jika saya menulis
status panjang lebar dengan banyak kata “Saya” di dalamnya. Saya merasa
laki-laki tidak boleh serempong itu.
laki-laki harus kalem dan bersahaja. Berasa
seperti banci jika saya menulis status yang bertujuan curhat. Pun jika pernah
saya keceplosan menulis status curhat, cepat-cepat saya hapus dari dinding
layar smart phone.
Dalam interaksi sehari-hari, kita
juga bisa melihat pola yang sama. Coba perhatikan obrolan antara dua orang laki-laki
yang bersahabatan, yang dibicarakan agaknya jauh dari kesan pribadi. Hanya penuh
dengan guyonan dan seputar permainan laki-laki yang tengah hits: sepak bola,
PS, dan sebagainya. Dan jika obrolan laki-laki dengan perempuan, tak perlu
ditanya lagi. Bayangkan saja potongan adegan drama korea itu, di mana pemeran
perempuan menangis tersedu-sedu setelah mencurahkan isi hatinya di dada
laki-laki dengan ekspresi menegarkan. Jangan bayangkan sebaliknya, jijik nanti!
Penyebab lainnya kita cenderung
mengabaikan emosi laki-laki adalah karena sesuatu yang mendasar, laki-laki tak
seimut perempuan. Jika kita melihat anak kecil, kita cenderung tidak
membeda-bedakan balita laki-laki dan perempuan, karena kedua-keduanya sama-sama
imut. Namun bedanya, keimutan cenderung meninggalkan tubuh laki-laki sejalan
dengan meningkatnya jumlah bulu di badan dan semakin nge-bass-nya suara. Di sini,
naluri lariah bermain, kita akan cenderung melindungi sesuatu yang indah
berbalut kelembutan -seorang perempuan-, dibandingkan dengan sesuatu yang kokoh
penebar aura melindungi, seorang laki-laki.
Terlepas dari itu semua, laki-laki
merupakan makhluk yang di dalam tubuhnya mengandung ragam hormon yang memunculkan
ragam emosi, sama seperti wanita. Akhir kata, Naluriah dan norma sosial bisa
saja menempatkan lelaki sebagai makhluk yang kuat, namun laki-laki juga makhluk
hidup yang berjalan di atas muka bumi dengan segala masalahnya. Ia mungkin
terlihat tegar, ia mungkin tak berekspresi seperti tak mengalami masalah
apa-apa, tapi isi hati siapa yang tahu? Mari peduli, mari bertanya! Jangan sampai
ungkapan kekinian itu, kepo namanya, membuat kepedulian kita akan sesama
berkurang.
Kita semua sama.
Post a Comment for "Laki-laki dan bunuh diri"